Sabtu, 14 Februari 2015

Revitalisasi BK di Sekolah

Ini artikel pertama saya, yang bikin saya semangat nulis. Alhamdulillaah.. Selain jadi yang pertama, artikel ini juga "gue banget" karena sesuai dengan bidang kerja saya sehari-hari. Saya simpan di sini sebelum hilang lagi. Hiks..

Revitalisasi BK di Sekolah

Seiring dengan perubahan zaman yang semakin dinamis, unsur soft skill menjadi suatu keniscayaan yang harus diinternalisasikan ke dalam karakter individu. Tidak ada yang memungkiri bahwa SDM yang cakap dalam hard skill tak akan berhasil tanpa soft skill yang memadai.

Bayangkan saja, seseorang yang sangat menguasai suatu keterampilan tertentu, tetapi tidak punya motivasi, kemampuan berkomunikasi, ataupun strategi mengelola stres, bagaimanakah jadinya? Pentingnya penanaman
soft skill dalam pendidikan merupakan salah satu landasan historis munculnya Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah.

Tuntutan dan tantangan global menyebabkan peranan BK di sekolah menjadi semakin penting. Problematika pelajar yang semakin berat dan beragam serta tuntutan kompetensi lulusan yang semakin tinggi membuat guru BK dituntut untuk lebih profesional dalam menjalankan perannya. Sayangnya, paradigma yang keliru masih sering menghambat atau bahkan membelokkan fungsi dan peran BK di sekolah.


Kultur Sekolah
Setiap sekolah mempunyai kultur yang berbeda dalam memosisikan guru BK. Namun paradigma umum yang masih melekat hingga saat ini adalah guru BK sebagai ''polisi'' sekolah yang harus selalu berkutat dengan siswa bermasalah.

Setiap permasalahan siswa dari yang ringan sampai berat menjadi tanggung jawabnya. Walaupun demikian, sifatnya yang nonjam juga membuat guru BK dianggap sebagai guru yang santai, bahkan setengah menganggur. Paradigma semacam itu tentu sangat memprihatinkan mengingat tantangan yang harus dihadapi dunia pendidikan, khususnya guru BK pada era global ini.

Sekali lagi, pentingnya menanamkan soft skill menuntut pemahaman komprehensif terhadap unsur psikologi siswa. Guru BK yang secara akademis telah dibekali dengan kompetensi psikologi jelas menempati posisi strategis dalam memenuhi tuntutan tersebut. Untuk itu, perlu revitalisasi BK di sekolah agar dapat menjalankan fungsi dan peran yang tepat dalam menjawab tantangan dunia pendidikan kontemporer.


Penyebab dan Upaya 
Kekeliruan paradigma terhadap guru BK di sekolah disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu minimnya pemahaman unsur sekolah tentang fungsi dan peran BK, serta kinerja guru BK sendiri yang kurang profesional. Kedua faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Sebagai contoh, minimnya pemahaman terhadap BK menyebabkan kekeliruan tuntutan dari guru lain saat menghadapi siswa bermasalah.

Guru lain berharap siswa yang bermasalah akan dimarahi dan dihukum hingga kapok saat dihadapkan pada guru BK, sedangkan guru BK punya strategi tersendiri, yaitu konseling dan kunjungan rumah. Sebaliknya, minimnya profesionalisme guru BK juga seringkali menjadi bumerang bagi tercapainya fungsi dan peran yang tepat.

Misalnya, guru BK yang kurang menguasai keterampilan konseling sehingga konseling menjadi tidak efektif dan permasalahan siswa tidak dapat tertuntaskan, atau guru BK mengikuti kultur yang ada, yaitu dengan memarahi dan menghukum siswa yang berkasus. Untuk itu diperlukan beberapa upaya dalam revitalisasi BK di sekolah.  Pertama, perlu dilakukan sosialisasi terhadap seluruh unsur sekolah tentang fungsi dan peran BK yang tepat. Bila selama ini bagan dan pajangan tentang BK hanya menghiasi ruang BK saja, maka perlu
disebarluaskan di seluruh sekolah dengan slogan yang lebih menarik dan komunikatif, misalnya ''Konselor di sekolah mantap, di luar sekolah sigap, dan di mana saja siap.''

Kedua, peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru BK. Kompetensi dalam hal ini meliputi landasan keilmuan dan aplikasinya. Guru BK harus terus menerus menambah wawasan seiring dengan problematika siswa yang semakin berat dan beragam. Profesionalisme yang tinggi juga harus ditampakkan dalam sikap dan perilaku, misalnya giat menempuh berbagai metode untuk menuntaskan permasalahan siswa, selalu menunjukkan sikap penuh empati dan peduli pada siswa, giat melakukan riset, dan memiliki kelengkapan administrasi. Paradigma bahwa guru BK adalah ''polisi'' sekolah tidak dapat serta merta
hilang dari kultur sekolah.

Penanganan terhadap siswa bermasalah memang menyedot porsi terbesar dalam diagram kerja guru BK pada umumnya, namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana penanganan tersebut dilakukan. Guru BK
profesional menyadari bahwa penanganan yang dilakukan terhadap siswa tidak boleh menyalahi koridor dan kode etik yang berlaku.

Berbagai metode pun harus dilakukan untuk dapat menuntaskan permasalahan siswa. Pergeseran paradigma ke arah yang lebih positif juga dapat diupayakan dengan menitikberatkan penanganan siswa pada strategi preventif, sehingga guru BK tidak melulu berurusan dengan siswa bermasalah tetapi dapat mencegah timbulnya permasalahan. Profesionalisme guru BK yang tinggi sangat penting dalam revitalisasi bimbingan dan konseling di sekolah. (24)


--Asruriyati, guru BK di SMP Negeri 3 Wanayasa, Banjarnegara.
 
Penampakan artikel di rubrik Suara Guru, Harian Suara Merdeka tanggal 7 September 2013
 
Read more

ME, MY STUDENTS AND THAT DAMN UNCATEGORIZED MUSIC

Catatan ini pada awalnya hanya status Facebook biasa, pertama kalinya saya nyetatus panjang, waktu itu buat selingan saat jenuh bikin SPJ BOS Triwulan IV (gak ada yang nanya 'kalee.. :p ). Tak disangka, yang share tembus angka 237. Subhanallah, habis itu senang deh.. dapat banyak teman. Ternyata musik nggak jelas ini adalah keprihatinan banyak pihak (bukan karena nulisnya bagus loh.. ).

Here it is..

ME, MY STUDENTS AND THAT DAMN UNCATEGORIZED MUSIC

Saya bukan penyuka musik, walaupun nggak anti juga sih.. Belakangan, saya mulai ilfil dengan beberapa lagu yang menurut saya mengandung muatan nggak mendidik. Bukan apa-apa, hanya mengingat posisi saya sebagai guru BK yang wajib concern dengan budi pekerti anak didik *jiaah...  Didaerah tempat saya mengajar, musik beginian jadi mainstream. Didendangkan anak-anak dengan senangnya. Padahal liriknya, na’udzubillah..

Awalnya hanya sering dengar saat belanja di pasar.Qodarulloh.. (kata ustadz.., ehm.. daripada bilang “kebetulan” mendingan“qodarulloh” karena segala sesuatu tidak ada yang kebetulan, mesti sudah dirancang oleh Alloh SWT) lapak penjual buah langganan saya bersebelahan dengan lapak penjual VCD yang tiada henti memutar sampel VCDnya untuk menarik perhatian pembeli. Keras-keras pula. Karena urusan pilih memilih buah sering agak lama,jadilah saya “penikmat” dadakan musik beginian. Biasanya lagu yang diputar adalah lagu yang sedang digandrungi masyarakat. Kebanyakan berbahasa jawa.Setelah dulu ada lagu “cucak rowo” yang.. u know.. menggambarkan sesuatu yang sangat aurat, kini ada lagu sejenis yang lebih vulgar. Belakangan baru tau judulnya “ngidam penthol”.. hiks! Temanya tentang seorang istri yang lagi horny.. (wah, jadi ikutan vulgar juga dong.. tapi barangkali ada teman yang dari luar jawa dan gak ngerti lagu itu). Walaupun disampaikan dengan perumpamaan, siapapun yang bisa berbahasa jawa pasti tau maksud sebenarnya.Termasuk anak-anak. Apalagi di akhir lagu diselipi dialog istri yang kebelet masuk kamar. Pantas didengar anak-anak? Jangan ditanya!

Belum sembuh rasa ilfil dengan lagu itu, ketika kegiatan study tour saya dikagetkan bahwa ternyata, lagu semacam itu sangat disukai anak-anak didik saya.
Sebut saja NA, anak didik saya ini sehari-hari pakai kerudung saat berseragam sekolah. Waktu study tour, hlaaah.. kok kerudungnya dilepas?! Di tangannya sebuah hape made in china tergenggam sepenuh cinta. Bukan hapenya yang menarik perhatian saya, tapi musik yang disetel NAkeras-keras itu. Lagu ngidam penthol! Dan NA, beserta teman-temannya, terlihat sangat menikmati lagu itu. Buktinya waktu lagu itu selesai, seorang temannya meminta diulang.. seorang lagi meminta dikirimi lewat blutut..

Tak hanya lagu ngidam penthol, lagu yang dipopulerkan lewat goyang cesar juga sangat digandrungi. Bisa dibayangkan lagu yang judulnya saja “bukak sithik joss..” kira-kira isinya apa? Masih banyaklagu lain yang menurut saya uncategorized dan muatannya nggak mendidik. Sayasebut uncategorized, karena mau dibilang dangdut.. kayaknya bukan.., itu kalau dangdut adalah sebutan untuk musiknya Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, Iis Dahlia,dkk. Disebut campur sari… bukan kali ya..? Kalau pakai kriteria lagu Sunyahni, Didi Kempot, dkk. Disebut pop, bukan juga. Rock apalagi. Belakangan (lagi) barutau namanya musik “dangdut koplo”

Daaann.. musik dangdut koplo sukses menjadi soundtrack study tour kami waktu itu. Anak-anak yang bawa hape, memutar lagu-lagu beginian semua. Mending kalau gantian, mereka nyetelnya bareng-bareng.. lagunya beda-beda pula, dan nggak pakai headset. Saya hanya geleng-geleng takjub. Mau melarang, lagi menghindari sikap otoriter. Mau menyampaikan bahaya mendengar lagu-lagu nggak mendidik, bagi mereka bisa ditafsirkan = melarang. Akhirnya, saya hanya mengingatkan “mbak, mas.. hapenya dihemat dong batrenya. Nanti ga ada tempat buat ngecas lhoo.. sekarang kita tidur dulu, biar besok fresh..!” Hmm.., tak lama musik-musik itupun mereda.Beberapa anak mengeluh lowbat, membuat yang lain menyadari batre memang harus dihemat. Syukurlah.. Saya pun mencatat di logbook ( jiaaah.. logbook cyn..kaya’ koas ajah..!), next time hal ini harus dibahas. Menurut saya, memilih musik itu termasuk content pendidikan bermedia yang walaupun belum ada di kurikulum sekolah ndeso tempat saya mengajar, tetap harus disisipkan.

Back to topic.. lagu ngidam penthol yang saya ceritakan tadi, sebenarnya bukan lagu pertama yang bikin ilfil. Dulu pernah adalagu “hamil duluan” yang sukses menyatroni kuping saya. Ceritanya seorang yang pacaran kebablasan trus hamil tiga bulan. Yang menarik, reffnya diulang-ulangsecara tidak wajar (menurut saya.., belum sempat ngitung sih, diulang berapakali). “ku hamil duluan sudah tiga bulan, gara gara pacarannya kebablasan..ooh, aku hamil duluan, sudah tiga bulan” dalam satu lagu diulang-ulaaang terus.Pada beberapa lagu yang saya bilang uncategorized tadi, reffnya juga diulangsecara tidak wajar. Ini yang bikin saya curiga, bahwaa…: walaupun sepintas lagu beginian terdengar kurang intelek, tapi ini sebenarnya merupakan bagian dari pengrusakan terprogram oleh pihak yang sangat intelek, pintar dan punya modal.Tentunya lebih pintar dari guru BK sekolah ndeso macam saya. Sasarannya.. tentu generasi muda, kalau bisa yang usianya masih sangat belia, termasuk anak-anak didik saya. As we know, pengulangan merupakan salah satu metode hypnosis paling sederhana tapi ampuh. Pengulangan lirik bermuatan tidak mendidik pada lagu yang notabene dikonsumsi sebagai hiburan, bisa sangat mengena karena biasanya gelombang otak pada saat menikmati hiburan adalah gelombang alpha.. which is..sangat sesuai untuk menanamkan content tertentu ke otak. Eh.. cemiiiw lhoo..saya hanya guru BK sekolah ndeso yang butuh banyak masukan…, ngga sempat googling pula.

Sedikit kebayang bagaimana anak-anak bisa sangat terpengaruh. Saya saja sebagai orang dewasa sering terngiang-ngiang kalau habisdengar lagu-lagu itu. Hati saya ilfil, tapi di otak saya nancep juga. Berarti penerimaan di hati dan otak bisa juga nggak sinkron ya? Makanya “sang aktor intelektual” giat banget memperdengarkan lagu-lagu ini. Walaupun sebel, kalau diulang-ulang nancep juga di otak. Miris deh kalau mengamati pesan moral yangterbalut di lagu beginian. Misalnya, tengoklah lagu-lagu ini..

“hey.. kenapa kamu kalo lihat aku sukanya bilang..bukak sithik joss.. apa karena pake rok mini jadi alasan.. sukanya abang ini lihat-lihat bodiku yang seksi..”
pesan moralnya: it’s okay to wear rok mini and baju seksi, kalo si abang lihat.. salah si abang dong..!

“penginku smsan.. wedi karo bojomu.. pengin kuketemuan.. wedi karo bojomu..”
pesan moralnya: it’s okay to be a selingkuhan (penyanyi = orang pertama, ceritanya selingkuh dengan suami orang. Masih mending yang nyanyi istri yang ditinggal selingkuh, at least selingkuh masih dianggap hal yang tidak disetujui bersama)

“cinta satu malam oh indahnya.. cinta satu malam membuat ku melayang.. walau satu malam akan slalu kukenang selama-lamanya..”
pesan moralnya: it’s okay to have one night love.Cinta apa coba malam-malam? Cinta di tempat dugem? Cintanya sebangsa kelelawar‘kali..?

Udah ah.. entar malah dikira kolektor lagu-lagu beginian. Repot kalau pada ngantri mau pinjem. Lho..?!

Menengok pesan moral yang terbalut dalam lagu-lagu itu, saya merasa pantas resah. Karena, mana mungkin mengontrol musik yang diperdengarkan secara massif, agar tidak terdengar oleh anak-anak? Biasanya malah anak-anak yang paling duluan hafal liriknya dengan sempurna. Jika Anda orang dewasa, bisa mengontrol pesan moral yang masuk ke telinga Anda, the choice is yours. Tapi bagi anak-anak..? Oh my..

Sekali lagi, saya melihat dari sudut pandang pendidikan. Masygul nian rasanya, susah payah mendidik di sekolah, tapi.. diluar sekolah berkeliaran pesan moral macam ini, yang pasti lebih dahsyat efeknya daripada hasil pendidikan di sekolah. Mau mengandalkan orang tua dirumah? Malangnya, di tempat saya mengajar, para orang tua masih beranggapan bahwa anak-anak akan tumbuh secara alamiah, tanpa butuh dukungan stimulus yang memadai dan kontrol terhadap variabel pengacau. Yah.. maklum di desa,kebanyakan bahkan tidak lulus SD.., mana paham parenting.. Mereka bahkan turut berperan memperdengarkan lagu beginian.

Hiks..!
Read more