Terlepas dari sengkarut dunia pendidikan Indonesia yang kian semrawut,hari ini saya cuma pengin cerita. Untuk orang-orang tulus dan murah hati yang saya kenal.
Here is the story..
[24 Februari 2014] Antara Ninochka dan Aisyah
Dalam novel Edensor karya Andrea Hirata terselip kisah Ninochka Stronovsky, mahasiswi asal Georgia yang mendapatkan beasiswa di Sorbonne melalui cara yang unik, yaitu karena keahliannya bermain catur (tapi di Sorbonne jurusannya ekonomi).
Di Indonesia, tersebutlah kisah Aisyah Pulungan, anak 8 tahun yang hidup menggelandang bersama sang ayah yang sakit. Aisyah yang masih kanak-kanak harus mengayuh becak yang juga berfungsi sebagai “rumah” bagi mereka dan mengurus ayah yang tergolek tak berdaya. Sungguh ketangguhan yang luar biasa.Aisyah kemudian berhasil sekolah lagi dengan dukungan masyarakat yang bersimpati karena pemberitaan di media.
Masih tentang anak sekolah, bagi saya kisah Ninochka dan Aisyah punya satu kesamaan; mereka bisa memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan lewat jalan yang tak biasa.
Harapan saya terhadap siswa tidak sefantastis Ninochka dan semoga tidak segetir Aisyah. Hanya agar mereka bisa melanjutkan sekolah, walaupun lewat jalan yang tak biasa. Yang saya maksud “biasa” di sini adalah, melanjutkan sekolah dengan dibiayai orang tua, atau dapat beasiswa karena otak yang cerdas dan prestasi akademik yang mumpuni. Hampir semua anak didik saya berasal dari keluarga kurang mampu dan kecerdasannya juga pas-pasan.Sekolah kami selalu menghuni deretan juru kunci nilai UN di kabupaten. Jalan yang biasa sulit sekali dijangkau. Setiap tahun, hanya sekitar 5 anak yang bisa melanjutkan. Sebagian besar lainnya segera terserap di sektor informal sebagai buruh kasar atau petani gurem, yang perempuan segera dilamar pemuda kampung sebelah.
Bukan suatu keburukan memang, tapi tidak memberikan nilai tambah bagi masa depannya.
Melanjutkan sekolah dengan cara yang bukan mainstream ternyata bukan tidak mungkin.
Saat ini, beberapa sekolah yang semakin “aware” dengan nama baik di bidang akademik dan non-akademik telah membuka kelas unggulan dengan keringanan biaya yang lumayan, bahkan bisa gratis sepenuhnya. Beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah juga membuka kesempatan untuk kuliah gratis bagi atlit berprestasi. Salah satu siswi kami yang berprestasi di bidang silat dan saat ini masih duduk di kelas 9 sudah membuktikannya. Dia menjadi rebutan MAN dan SMK Muhammadiyah, keduanya menawarkan gratis biaya pendidikan.
[1Maret 2014] Terima Donor Berat Badan
Ada yang bilang “success doesn’t just happen, it’s planned for.” Setelah ngiler dengan tawaran beasiswa penuh untuk atlit berprestasi, bahkan mungkin hingga kuliah nanti, kami pun berusaha menggenjot prestasi di bidang silat. Dalam mindset kami,tawaran seperti ini sungguh menggiurkan. Masih terbayang ketika sekolah dan kuliah dulu dengan biaya pas-pasan. Tetapi di sini, hanya ada beberapa gelintir siswa yang sungguh-sungguh terinspirasi. Latihan silat tidaklah ringan. Perlu motivasi dan komitmen tinggi. Kondisi ekonomi keluarga yang berdampak pada keterbatasan uang saku juga berperan menyurutkan semangat.Latihan silat yang menguras energi memerlukan uang saku lebih untuk membeli makan siang. Anak yang kurang motivasi akan segera mundur. Kami berusaha mencukupi makan siang anak-anak sebelum latihan. Kebanyakan siswa yang ikut latihan juga berasal dari keluarga kurang mampu.
Adalah Putri, siswi kelas 8 yang terlihat berasal dari keluarga cukup mampu. Saat kami berkunjung kerumahnya untuk memohonkan pamit Putri mengikuti camp latihan, baru kami tahu kondisi keluarganya. Kursi tamupun tak punya. Jamban, jangan harap. Orang tua Putri bekerja di Jakarta. Putri tinggal bersama kakek, nenek,dan adik-adiknya. Nenek Putri buta. Secara resmi, Putrilah yang mengurus semua pekerjaan rumah tangga. Setiap hari, Putri harus berjalan menuruni bukit untuk keperluan MCK. Pulangnya, ia harus membawa ember besar berisi cucian basah di jalan menanjak. Pantas saja ototnya mengeras. An advantage for us. Melihat keadaan Putri, kami semakin terpacu untuk berbuat sesuatu.
Lain lagi cerita Sholihin dan Masduki, siswa kelas 7. Kedua anak ini semangatnyaluar biasa tetapi bobotnya kurang. Bahkan untuk ikut kelas A dengan ketentuan bobot 34-37 kg, mereka masih kurang banyak. Anak kelas 7 SMP, beratnya 28 dan30 kg. Cukup menggambarkan tingkat kecukupan gizi mereka selama ini. Mengingat mencari anak yang semangat latihan tidaklah mudah, kami tetap memasukkan merekake dalam tim dan merencanakan penambahan berat badan. Tetapi, untuk memenuhi konsumsi 14 anak dengan 2 anak yang harus ditambah berat badannya, kami menemui kendala klasik, dana.
Dengan siswa hanya 134, dan dana BOS Rp. 710.000/siswa/tahun, maka dana BOS tiap bulan benar-benar hanya cukup untuk operasional sekolah. Biaya kegiatan siswa hanya kegiatan inti, itupun ngepres, biaya persiapan, seperti latihan, tidak ter-cover. Penggunaan dana BOS juga harus tunduk pada Juknis (petunjuk teknis) dan diawasi Inspektorat demi predikat WTP (wajar tanpa pengecualian). Ribet memang. Program penambahan berat badan sangat tidak lazim di sekolah, dan mungkin memunculkan pertanyaan “ini sekolah apa posyandu?” -_- Sayangnya alat donor berat badan belum ditemukan. Kalau ada alatnya, saya orang pertama yang mau mendonorkan berat badan. ^_^
[10Maret 2014] The people called altruist
Hari gini masih ada orang tulus? Jawabnya, masih banyak! Saya termasukyang beruntung dipertemukan dengan mereka lewat Facebook. Di tengah kegalauan mengingat kondisi keuangan sekolah yang tidak memadai dan keluarga siswa yang juga kurang mampu, ternyata banyak yang bersedia menjadi donatur. Meski saya bahkan belum pernah bertemu mereka,tapi mereka tak segan mengulurkan tangan. Sebenarnya takut sih mengelola amanah ini, tapi tidak ada jalan lain. Anak-anak membutuhkannya. Alhamdulillaah.. Saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan mereka. Hanya Allah yang mampu membalas. Catatan ini untuk mengabadikan rasa terima kasih saya. Semoga, catatan amal kebaikan juga tertulis dengan indah bagi mereka semua. Amiin..
[18Maret 2014] Ketika sportifitas diuji
Popda yang dinantikan tiba juga.Baru saya tahu, Popda tidak hanya jadi ajang prestasi antar sekolah, tapi juga ajang pertaruhan nama perguruan silat. Tahun ini, konon pertarungan semakin sengit. Saya sering mendengar ulah tidak sportif yang biasa dilakukan di pertandingan olahraga. Sedikit info, misalnya ngebon atlit, memudakan umur, dan pakai bantuan dari alam gaib. Tidak usah saya perjelas.
Sejak awal kami sepakat, tidak akan memakai cara-cara tidak sportif itu. Namun itu juga berarti kami harus siap menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih tangguh lahir dan “batin”.
Ketika atlit berubah mood sesaat menjelang pertandingan atau pandangannya tiba-tiba kabur, tak jelas melihat lawan, maka kemungkinan iaterkena gangguan. Cara menghalau yang paling efektif hanya memperbanyak dzikir.Ilmu olah kanuragan bagi beberapa perguruan silat memang disandingkan dengan ilmu kebatinan. Yang ini juga tidak usah saya perjelas.
Partai 4 gelanggang 2 seharusnya jadi ajang Sholihin berlaga hari itu,tapi sampai saat penimbangan ulang ternyata bobotnya masih kurang. Program penambahan berat badan terlalu mepet dengan pelaksanaan. Sholihin otomatis diskualifikasi dan lawannya menang tanpa bertanding. Kecewa tentu, tapi tak saya lihat wajahnya keruh. Sebenarnya ia bisa lolos kalau pada saat penimbangan diberi bandul, tapi tidak kami lakukan. Kekalahan dalam sportifitas sepertinya lebih baik bagi pembentukan karakter anak. Caleg depresi pastinya tidak belajar hal ini di sekolahnya dulu.
Kami pun pulang dengan hanya membawa 1 medali emas (tapi bukan emas beneran, hanya simbol saja). Tak apa, kami tetap bersyukur. Tahun ini pertama kalinya kami berani menurunkan full team. Hanya 2 anak yang sudah berpengalaman, yang lain debutan. Jadi program prestasinya agak jangka panjang.
[1 April 2014] Kilau gemintang di bumi
Hiruk-pikuk Popda telah berlalu,kembali ke rutinitas di sekolah. Ada nuansa berbeda yang saya rasakan. Kini kegiatan tadarus lebih hidup karena telah ada Al-Qur’an di setiap kelas, satu anak satu Al-Qur’an. Dulu, di pagi hari sering semrawut karena Al-Qur'an hanya berjumlah 24, tiap kelas harus rebutan kalau mau tadarus. Menyuruh anak membawa kurang efektif, karena kebanyakan juga tidak memiliki Al-Qur'an sendiri. Paling milik masjid atau TPQ di desa.
Kini, tadarus jadi lancar. Semoga pahala mengalir untuk para donatur dari tiap huruf yang dibaca anak. Juga dari setiap kebaikan yang timbul dari kegiatan tadarus rutin ini. Jangka pendek maupun jangka panjang. Amiin..
Teringat suatu hadits..
”Rumah yg di dalamnya dibacakan Al-Qur’an akan terlihat bagi penduduk langit sebagaimana penduduk bumimelihat gemerlap bintang-gemintang di langit'" (HR Baihaqi)
Kami berharap sekolah ini terlihat berkilau dari langit, meski terpuruk dalam pandangan manusia karena segala keterbatasan yang ada.
Setiap sehabis tadarus juga kami berkesempatan berdoa apa saja,tentunya untuk segala kebaikan bagi anak-anak dan sekolah ini. Hanya ini yang bisa kami lakukan. Berdoa agar lepas dari kungkungan kebodohan dan keterbelakangan, langsung kepada Pemilik alam semesta.
Bantuan donatur juga berpengaruh ke pelajaran Bahasa Inggris. Anak-anak tak mampu membeli kamus. Alhamdulillah, kini setiap pelajaran Bahasa Inggris, anak-anak memegang masing-masing satu kamus, jadi tidak bermasalah dengan vocabulary lagi.
Hari-hari ini, kelas menulis yang saya pandu juga sedang ada gawe,yaitu persiapan lomba FLS2N. Ada lomba cipta cerpen dan cipta puisi yang akan kami ikuti. Ini pertama kalinya kami ikut lomba FLS2N. Tak ada target. Membawa anak ikut lomba dan melihat kota paling targetnya. ^_^ Nasriyah dan Yulia yang dipilih ikut lomba ini berlatih dengan semangat. Alhamdulillah, saya jadi optimis nanti kami nggak akan malu-maluin meski baru pertama kali ikut.
[19 April 2014] Langkah awal yang manis
“Selamat ya Bu,” ucap Kepala Sekolah pagi itu. Saya pun bertanya,“selamat untuk apa ya Pak?”
Ternyata, Yulia dapat juara II lomba cipta puisi FLS2N. Prestasi dari kelas menulis sudah mulai menetas. Alhamdulillah.. Dulu, hanya prestasi di bidang olahraga yang bisa kami raih, tapi dengan semangat dan optimisme, nyatanya prestasi non-fisik pun mulai singgah di sekolah kami. Bukan ingin jadi kolektor piala.Tetapi prestasi itu sangat berarti untuk anak agar bisa mendapatkan keringanan biaya saat melanjutkan sekolah. Prestasi juga membantu memupuk rasa percaya diri pada anak-anak, bahwa ternyata mereka juga bisa. Saya percaya, Allah meridhoi niat dan usaha yang tulus. Prestasi Yulia jadi langkah awal yang manis untukmemulainya. Bismillah..
[2 Mei 2014] Sekolah, baca Al-Qur’an dan berkelana
Kalau ingin mengubah hidup, tiga resep itu yang paling jitu. Itu kata Bu Muslimah, ibu guru kharismatik di Laskar Pelangi. Saya sangat sepakat. Sekolah bukan untuk mencari gelar, tapi untuk meningkatkan level pemikiran di segala bidang. Sekolah tidak harus di lembaga persekolahan, tapi bisa dimana saja. Saat kita belajar, di situlah sekolah. Baca Al-Qur’an, karenadi sanalah terdapat intisari ilmu pengetahuan. Kecintaan kepada Al-Qur’an inilah yang berusaha kami tanamkan lewat kegiatan tadarus. Berkelana, untukmemperluas bentang cakrawala. Yang ini secara kasat mata sulit. Anak-anak ini,melihat kota Banjarnegara saja banyak yang belum pernah, bagaimana mungkin melihat dunia. Tapi bila punya tiket bernama prestasi bukan tidak mungkin akan membawa mereka keliling dunia. Saya berharap, dengan mereka mengubah hidupnya, mereka akan jadi agen perubahan untuk masyarakat desanya. Amiin..


0 komentar