"KAMU" bukan "KALIAN"
Nulis lagi... Udah “hutang” banyak tag sama teman-teman yang jauh lebih produktif menulis. Tulisannya bagus-bagus lagi. Setelah biasanya share kegalauan tentang dunia pendidikan, kini sedang mencoba berganti nuansa. Tetap galau sih, tapi agak happy ending di akhirnya.
Ehm.. Begini..
Jaman saya SMP dulu, sekolah saya pernah kedatangan KKN UGM, dari Fakultas Psikologi. Masih ingat betul namanya mba Suli Fatimah dan mas Putu Mandau (gimana kabar beliau2 sekarang ya? Ada yang kenal kah? ).
Kami diajak diskusi. Mba Suli bertanya, saya lupa redaksi kalimatnya, tapi intinya “what bothered you most at school?” apa yang paling bikin bete di sekolah.Kami anak-anak kampung yang stereotipnya malu mengungkapkan pendapat, jadi cuma senyum-senyum dan sikut kanan kiri. Tetapi akhirnya ada juga yang bersuara. Saya lupa siapa, tapi yang jelas bukan saya Meski lupa siapa orangnya, saya masih ingat curhatnya, yaitu “gimana menghadapi guru yang marah karena ulah seorang teman di kelas, tetapi guru tersebut lantas mogok mengajar sehingga seluruh kelas jadi kena imbasnya.”
Jawaban beliau2 waktu itu, lagi-lagi saya lupa redaksinya (maklum udah lamaaa nian), tapi intinya, para guru seringkali menganggap salah satu atau beberapa teman sebagai representasi seluruh kelas. Padahal teman yang berulah tidak mewakili mayoritas teman, alias berdiri sebagai individu yang independen (cieeh.. ).
Tetapi di mata guru, “kamu” berulah ----> “kalian” semua berulah.
Sungguh tidak adil.
Entah mengapa (pastinya dengan izin Alloh), konsep “kamu” bukan “kalian” ini melekat terus di ingatan saya.
Nah kini, tiba giliran saya jadi guru.
Meski jauh dari predikat guru ideal, tetapi ketika mengajar di kelas tentu saya mengharapkan yang serba ideal. Sayangnya realita sungguh bertolak belakang.Begini kira-kira..
Scene idaman:
Pagi yang cerah, secerah hati ibu guru ( ). Sekolah terlihat bersih, suasananya hangat. Semua siswa sudah masuk kelas, siap menimba ilmu dari bapak ibu guru yang telah menyiapkan pembelajaran yang hebat.
Jadwalku? Ow.. ada 1 jam BK di kelas 8A, membahas tentang pubertas.
Masuk kelas dengan semangat, anak-anak menyambut dengan salam yang kompak. Semua terlihat bersih, rapi, dan sehat. Pastinya sudah mandi dan segar, siap untuk belajar.Beberapa saat apersepsi tentang materi yang akan disajikan, anak-anak tampak responsif. Makalah yang ditugaskan seminggu yang lalu sudah siap dipresentasikan, rupanya keberadaan internet sangat membantu. Mereka segera membentuk kelompok.
Presentasi dan diskusi berjalan dengan seru. Sungguh menyenangkan.
Terbangun dari mimpi. Inilah dia..
Scene realita:
Pagi yang cerah. Kantor guru sepi, hanya terlihat 2 guru. Jumlah kelas ada 6, berarti 4 kelas belum ada gurunya. Pukul 07.15 bel berbunyi, entah kenapa terdengar parau dan sendu, sesendu hati ibu guru ( ).
Bapak ibu guru yang lain pasti masih di jalan, menempuh perjalanan harian yang panjang. Ada yang berangkat dari rumah sebelum subuh, mengalami pergantian hawa yang ekstrim. Dingin, panas, lalu dingin lagi. Ban bocor, rantai lepas, kehabisan bensin, itu cerita yang biasa. Setiap hari harus menempuh perjalanan jauh juga bikin degradasi fisik lebih cepat dari normal.
Seperti di kebanyakan sekolah, guru BK juga menjabat sebagai GPA (Guru Piket Abadi ), jadi harus siap dengan kondisi seperti ini. Meski bel telah berbunyi, anak-anak masih di luar kelas. Tas masih di punggung, belum ditaruh di dalam kelas, entah mengapa.
Satu persatu kelas dimasuki bu guru. Anak-anak baru mau masuk kelas kalau sudah disuruh. Ketua kelas menyiapkan dan memimpin doa. Bu guru memberikan tugas sesuai mapel. Apersepsi alakadarnya.., lha wong tanpa persiapan. Untungnya sudah biasa jadi guru loncat-loncat. Sedikit-sedikit menguasai, ah.. bukan menguasai, tapi setidaknya mengetahui materi pelajaran dari kelas VII sampai kelas IX. Pernah juga jadi guru Bahasa Inggris, Biologi, Fisika dan TIK. Guru BK selalu dianggap guru pengangguran, jadi kalau ada sesuatu dengan guru resminya ( e.g. cuti, pindah belum ada pengganti, diklat, dll) pasti disuruh menggantikan.
Guru mapel jadi-jadian, asal jangan abal-abal. Kalau lagi mujur, anak-anak nurut, tak protes. Kalau nasib kurang berpihak, anak-anak protes, banyak keluhannya. Tak segan bilang “awang-awangen” (males banget). Ramai-ramai ijin ke belakang. Entah mengapa mereka begitu menikmati perjalanan ke toilet siswa di pojok sekolah itu. Seringkali tertambat ke kantin yang kebetulan dekat dengan toilet. Bu guru berusaha maklum. Tak banyak prestasi akademik yang bisa diharapkan dari anak yang sedari kecil kurang stimulasi, di TK harus duduk anteng dan diam, dan di SD sering ditinggal gurunya latihan pakai laptop, PLPG dan tetek bengek sertifikasi. Saat masuk SMP, penjumlahan dan pengurangan saja belum lancar. Juga mental hectic tingkat dewa. Jenuh luar biasa.
Satu kelas terkondisi, beralih ke kelas yang lain. Lalu yang lain lagi. Ritualnya sama. Terakhir, dengan ngos-ngosan sampai juga di kelas sendiri. Ah ya, harus membahas pubertas ya?
Sekilas apersepsi, anak-anak putra langsung bikin bete. Topik yang mengundang kata-kata jorok. Sedikit-sedikit tertawa. Mending kalau tertawa biasa. Ini sambil gebrak-gebrak meja. Heboh luar biasa. Anak putri nampak sebel, mungkin dalam hati merasa jadi objek. Sebelum ada SMP di sini, kebanyakan lulus SD langsung menikah. Jadi, mereka sebenarnya sudah “usia nikah” saat ini, makanya sebagian pikirannya sudah matang. Tetapi sebagian belum. Nah ini susahnya. Ingin menerangkan duduk persoalan pubertas pada semuanya, terganggu yang sudah “matang” tadi. The show must go on.
Sambil terus mengkondisikan kelas, topik ini dibahas. Jangan tanya betenya. Kebayang perasaan guru yang marah dan mogok mengajar di awal cerita ini. Yang bikin bete beberapa, tapi sungguh sulit melokalisir masalah. Kalau tidak hati-hati, yang serius belajar jadi kena imbasnya. Himbauan standarnya adalah “sarapanlah setidaknya dua porsi kesabaran, dengan piring tahan banting, ditambah segelas jus lapang dada” *lebay mode on*
Lelah.. iya. Jenuh.. banget. Pengin pindah.. normally yes! Terlihat di sekolah lain, guru BK nampak damai sentausa (at least itu kesimpulan saya kalau ngobrol2 dengan guru BK lain di pertemuan). Ini baru sebagian kecil realita guru BK yang saya ceritakan. Yang lain masih banyak, perlu “ketegaan” tersendiri untuk menceritakannya.
Hiburan standarnya adalah (dari tadi standar mulu), tak usah silau dengan rumput tetangga yang lebih hijau, karena di sanalah tempat pussy buang pup
Eits... kalau udah cerita realita suka lupa waktu. Back to topic..
Saat situasi kelas dan sekolah secara umum kurang kondusif, memang lebih mudah menggeneralisir kualitas anak didik. Hanya gara-gara beberapa anak bikin kisruh, seluruh kelas jadi jelek. Bad mood mengajar pun sulit dihindari. Di sekolah, hanya gara-gara beberapa anak suka bikin onar, sekolah dapat label negatif. Padahal di tengah itu semua, ada juga individu-individu yang cemerlang, bahkan melebihi harapan.
Sahabat dan rekan kerja saya, Bu Genuk yang membuka mata saya akan hal ini. Konsep “kamu” bukan “kalian” ini diterapkan untuk menjaring potensi siswa. Kuncinya: lebih jeli melihat potensi anak didik, meski berada di kelas yang kurang kondusif. Pembinaannya pun bersifat individu, atau dalam kelompok kecil yang setara kualitasnya. Ibu satu ini guru olahraga. Pendekar silat juga. Hasil binaannya mengejutkan.
Tahun lalu, anak didik kami berhasil sampai ke tingkat provinsi, dapat juara III Popda untuk cabang pencak silat. Komite sekolah terkejut. Ini prestasi yang jarang dicapai sekolah gunung yang lain. Tahun ini berhasil dapat juara I dan II di turnamen silat Tapak Suci tingkat provinsi juga.
Kami lebih suka lomba-lomba yang based on performance seperti olahraga. Dalam pertandingan silat misalnya, langsung jelas siapa menang siapa kalah. Kalau lomba yang based on judges, nggak bakalan lah nama sekolah kami diperhitungkan. Misalnya lomba nyanyi yang penilaiannya sarat unsur subyektif juri. Apalagi lomba akademik. Mana mungkin mengalahkan anak-anak kota yang sibuk bimbel itu. Konon, sebelum lomba saja sudah ketahuan siapa juaranya (katanya lhooo...).
Prestasi individu juga diraih Udin Suryadi yang berhasil mewakili kabupaten ke even Jambore Nasional di OKI, Sumsel. Padahal pembinaan pramuka di sekolah kami alakadarnya, karena kurang SDM. Tapi ya itu, bukan berarti nggak ada individu berpotensi. Meski gurunya belum pernah kesana, rasanya bangga kalau murid bisa sampai kesana duluan.
Prestasi itu mungkin biasa bagi sekolah kota. Tetapi di sini sungguh luar biasa. Bukan piala yang jadi tujuan, tetapi lebih pada pengakuan dari luar, bahwa anak gunung juga bisa. Piala juga sangat berarti untuk anak-anak. Apalagi mereka boleh bawa pulang piala aslinya. Sekolah yang membuat duplikat untuk disimpan. Mereka senang sekali dapat piala. Teman SD mereka yang lebih pintar dan mampu secara ekonomi, yang dulu gengsi masuk sekolah ini dan mendaftar ke sekolah favorit, nyatanya tidak berprestasi apapun.
Rahasia Bu Genuk, anak-anak dibina dari hati ke hati. Sering diajak menginap di rumahnya. Ditunjukkan medali, piala dan piagam yang diraihnya (beliau dulu atlit nasional lho..). Dikisahkan cerita-cerita prestasi. Anak-anak sangat termotivasi. Apalagi setelah satu demi satu prestasi diraih, kepercayaan diri semakin terbangun. Beberapa sudah bercita-cita ingin jadi atlit nasional. Bukan sekedar cita-cita, tapi sudah jelas path-nya.
Menurut bu Genuk, guru berprestasi bukan guru yang sering diundang diklat naik pesawat, bukan pula yang menang lomba tingkat nasional karena pembelajaran rekayasa yang cuma bagus di dokumentasinya (tapi kalau benar2 mencerahkan siswa berarti berprestasi betulan). Guru berprestasi adalah guru yang mencintai anak didiknya, menyuntikkan semangat di tengah pesimisme, membangkitkan prestasi di tengah ketidakberdayaan.
Cita-cita kami, anak bisa melanjutkan sekolah, syukur sampai kuliah, dengan gratis. Ternyata hal ini bukan tidak mungkin. Bella, anak yang juara silat itu, sudah diperebutkan dua sekolah. SMA dan MAN. Totally free, malah ada yang menawarkan uang saku juga. Alhamdulillah.. Angkat topi deh buat sahabatku, Bu Genuk. This is a tribute for you, Dear..
Kejelian bu Genuk melihat potensi juga berlaku pada saya. Kami biasa ngobrol di sekolah, sampai di rumah pun masih berlanjut lewat WA. Saya banyak belajar darinya, terutama semangat dan dedikasinya. Sarannya suatu hari..
“Jeng, daripada cuma menemani aku ekstra silat, mending njenengan bikin kegiatan juga”
“Kegiatan apa Bu? Lemburan juga banyak kok, nggak papa tak temani aja.”
“Maksudnya kegiatan yang mengembangkan potensi anak,” katanya.
“Bikin ekskul? Tapi aku nggak menguasai ekstra yang ada di SK. Dulu pernah memandu ekstra KIR juga gitu2 aja. Pemandu abal-abal, hiks.. Lagian kalo nambah ekskul kasihan sekolah harus mikir honornya” (karena bendahara jadi tahu situasi keuangan)
“Nggak harus yang di SK ‘kali, bikin kegiatan sendiri aja. Njenengan kan bakat nulis. Coba itu Nasriyah dibimbing. Pasti jadi bagus.” (bakat nulis itu menurut Bu Genuk lho, aslinya mah biasa aja )
“Iya ya? Coba deh ta’ tawari mau apa nggak anaknya,” jawab saya. Saran yang bagus juga.
Nasriyah ini memang luar biasa. Meski berasal dari keluarga kurang mampu, bakat linguistiknya sangat menonjol. Misalnya, saat mengungkapkan alasan menyukai sebuah acara TV, anak lain cuma bisa kasih alasan “karena bagus”, “lucu”, dll, itupun dengan berpikir keras, tapi Nas bisa bikin esai setengah halaman. Saat bikin puisi, anak lain dengan susah payah menghasilkan 2 – 3 bait, Nas bisa 2 halaman dengan diksi yang memadai. Meski bukan guru Bahasa Indonesia, saya tahu lah yaa... (guru BK juga mesti serba tahu ).
Sambil menemani Bu Genuk dan anak-anak latihan silat, saya dan Nas menghabiskan waktu di perpustakaan. Anak ini semangat luar biasa. Bahkan ketika saya tidak berangkat pun, dia berinisiatif meminta kunci perpus, membaca dan menulis sampai sore seperti yang saya tugaskan. Sendirian.
Saya juga dibuat terkesima dengan cerpen pertamanya. Cerpen anak tentang keluarga. Dikonsep tanpa coretan, dalam waktu singkat, dan jumlah halamannya pas. Saya yakin, tidak sehebat itu waktu seusia dia. Bahkan sampai sekarang pun. Kalau mengonsep tulisan, pasti penuh dengan coretan, dan kebanyakan tak selesai. Karena sekarang udah jaman laptop, tulisan saya bahkan banyak yang masih berupa nama-nama file tok, belum ada isinya. Hiks...!
Tapi ternyata anak gunung bisa lho..
Sekarang, tiap sore sekolah selalu ramai. Biasanya, di sekolah gunung, segera setelah bel pulang berbunyi, sekolah akan sepi nyenyet. Tadinya ekskul kurang jalan, karena sifatnya top-down, ekskul diadakan berdasarkan SK resmi, mengikuti mainstream ekskul yang ada di sekolah-sekolah lain.
Tapi sekarang, ekskul berdasarkan passion siswa. Saat guru berhalangan pun mereka latihan sendiri. Kalau sudah begini, guru jadi ikut semangat. Mengejutkan, setelah kegiatan saya dan Nas berjalan, beberapa anak mendekat, dan bilang ingin bikin cerpen juga. Meski bukan ekskul, kegiatan ini ternyata banyak peminatnya. Dan karena bukan ekskul, sekolah tak perlu repot memikirkan honor saya. Lupakan cerita soal guru di kota yang gaji dan tunjangan sertifikasinya utuh, karena honor ekskulnya selangit. Wah, kaya raya dong..?
Bagi saya, melihat anak-anak bersemangat, itu sudah honor yang luar biasa. Kantong tipis dan sepatu kreditan (walah, disebut lagi) bukan masalah, yang penting hepi..
Kiat ini juga berlaku untuk pembelajaran. Tak perlu marah-marah meski mayoritas anak bikin kisruh, pasti tetap ada satu dua yang ingin belajar. Dekati anak yang ingin belajar itu di luar kelas. Tawarkan privat khusus untuk mengejar ketertinggalan karena ulah teman sekelas. Buat mereka menguasai materi. Bagi yang suka bikin onar itu, sebenarnya yang mereka perlukan adalah bukti, bahwa pendidikan oleh guru lahir dari rahim kasih sayang, bukan pendidikan yang memenjarakan. Bukti bahwa guru bersungguh-sungguh ingin mendidik. Saat mayoritas mereka menolak belajar, tunjukkanlah kasih sayang itu pada individu yang masih mau menerima. Pelan tapi pasti, mereka akan melihat kasih sayang itu terpancar dari teman mereka sendiri. Ternyata temanku bisa, berarti aku juga bisa. Bu Guru tidak membual. Mengejutkan, ternyata situasi kelas menjadi jauh lebih kondusif.
Usia remaja adalah masa dimana konformitas begitu tinggi. Transmisi nilai lebih mudah dari anak kepada sesamanya, melebihi efektifitas transmisi nilai dari guru ke siswa (ini berdasarkan pengalaman lapangan lho, teorinya.. entahlah). Biarlah anak yang “menyampaikan” ternyata belajar itu menyenangkan, ternyata bapak ibu guru baik, ternyata kita tak perlu bikin ulah untuk diperhatikan. Bagaimanapun, guru di sini adalah orang yang dipandang berasal dari kota, berpakaian batik rapi dan aneka atribut pegawai. Bukan tipikal penduduk desa yang biasa dilihat sehari-hari. Tak mudah menyampaikan sesuatu dengan “bahasa” mereka, karena perbedaan kultur kerap membuat mental block, meski cuma kultur “agak kota” dan “desa gunung”, dan masih satu daerah. Saat transmisi nilai dan ilmu dibantu oleh teman mereka sendiri, segalanya lebih mudah. “kamu” yang semangat belajar bukan tidak mungkin akan menjadi “kalian” yang semangat belajar. Semoga.
PS :catatan ini tak hendak menggarami lautan, menggurui yang sudah mumpuni, memamerkan pengabdian yang tidak seberapa... hanya ingin berbagi kisah dari balik pegunungan, barangkali bermanfaat.
2 komentar