Selasa, 21 April 2015

Ibu yang Tertunda






Saya dan suami menikah melalui proses ta’aruf. Singkat bin padat deh prosesnya. Ketemu pertama pas ta’aruf, ketemu kedua lamaran keluarga, ketemu ketiga pas ngurus surat-surat nikah. Ketemu keempatnya di pelaminan deh.. Alhamdulillah, segala sesuatu dipermudah-Nya. Mungkin sebagai belas kasih Allaah buat saya yang melalui proses penantian cukup lama tanpa pacaran. 

Khusnudzon dan Niat

Karena proses yang singkat, saya pun tak sempat mengenal keluarga suami. Hanya sekilas melihat waktu khitbah. Jangankan keluarganya, calon suami pun belum saya kenal betul. Cuma lewat biodata dan penuturan Ustadz yang membantu proses ta’aruf kami. Modal khusnudzon saja, saya lihat keluarga calon suami sangat baik, termasuk calon ibu saya.

Setelah menikah, saya sempat LDR selama enam bulan, menyelesaikan tahun pelajaran yang sedang berjalan di SDIT tempat saya mengajar. Saya menyampaikan kepada suami, setelah selesai tahun pelajaran itu saya ingin quit dan ikut suami yang masih tinggal dengan orang tuanya. Saya berniat tinggal di rumah keluarga suami dan tidak segera tinggal terpisah. Saya ingin mengakrabkan hubungan dengan mereka. Merasakan menjadi bagian dari mereka. Meski banyak cerita tentang pahitnya tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah), saya yakin setiap keluarga punya cerita sendiri. Cerita orang lain belum tentu terjadi pada saya kan? Hehe..

Niat itu ternyata disambut baik oleh keluarga suami. Bapak dan Ibu langsung menawarkan saya mengajar di MTs Muhammadiyah terdekat. Kebetulan ada guru yang quit juga disana. Jadi, saya pun tak sampai mati gaya sambil menanti kehadiran buah hati di keluarga kecil kami.

Mengenal Profil Ibu

Seorang ibu adalah nyawa dalam sebuah rumah. Ruh dalam interaksi keluarga. Itu yang selalu saya rasakan di setiap rumah yang saya tinggali. Mulai dari rumah orang tua saya, rumah kos, rumah keluarga suami, dan sekarang rumah saya sendiri (saya dong nyawanya, hehe :D ). Setelah tinggal di rumah keluarga suami, saya pun merasakan Ibu adalah warna dalam rumah itu.

Keluarga kami, formasi lengkap :D

 Semakin lama mengenal Ibu, saya semakin menyayangi beliau. Saya menganggap beliau adalah ibu yang tertunda. Ibu saja, tidak pakai embel-embel mertua. Profil ibu mungkin bisa sedikit saya gambarkan disini.
   
1)  Sederhana dan Shalihah
Alhamdulillaah, tsumma alhamdulillaah.. Setelah menikah, saya bisa belajar banyak dari sosok wanita seperti Ibu. Meski terbilang sukses sebagai PNS dan pedagang, Ibu tetap hidup sederhana. Pengelolaan keuangan dibuat sehemat mungkin. Pencapaian keluarga saat ini tak lepas dari kelihaian Ibu mengelola keuangan.
Bukan sekali dua kali prahara melanda akibat kegagalan usaha putra pertama. Jeratan hutang yang melilit  kakak sulung terpaksa diambil alih oleh Bapak dan Ibu. Jumlahnya milyaran. Sampai saat ini, keluarga kami masih berusaha mengatasinya. Di tengah kondisi sulit seperti sekarang, kebiasaan Ibu berhemat dan hidup sederhana membuat secara mental kami semua relatif stabil menghadapi kesulitan keuangan. Toh sudah biasa hidup seadanya. Alhamdulillaah..

2) “Anak, bukan menantu”
Ini perkataan ibu saya waktu ditanya tetangga.
Niki putra mantune, Bu?” (ini menantunya, Bu?”)
Ibu menjawab, “Mbiyen mantu seniki anak” (Dulu menantu, sekarang anak)
Itu terjadi di awal sekali saya menikah. Dialog itu menjadi pondasi yang kokoh untuk membangun interaksi kami selanjutnya. Saya jadi tahu bagaimana tempat saya di hati Ibu dan bagaimana saya harus menyikapinya.
Meski dianggap anak sendiri, Ibu tetap berusaha membuat saya betah. Suami pernah bertanya, apa ada sikap Ibu yang membuat saya tidak kerasan? Ternyata Ibu yang menyuruh suami menanyakannya. Saya pun buru-buru menjawab, tidak ada. Hehe..

      3) Multitasker
Ibu dengan lima anak, punya karir sebagai guru, dan memiliki usaha dagang, tidak mungkin  bisa dilakoni kecuali dengan multitasking. Itu baru saya resapi setelah punya anak, menyadari “oh betapa rempongnya” :D
Tapi Ibu saya bisa. Alhamdulillah, hari demi hari saya juga belajar menjadi multitasker seperti Ibu.

      4) Womanpreneur
Nah, ini bagian yang asik. Di sekitar saya, jarang sekali ada sosok wanita yang bisa merangkap sebagai ibu, PNS dan pebisnis sekaligus. Ibu menjadi guru sejak tahun 1982. Saat itu memang tuntutan kinerja guru belum seberat sekarang (tapi kok bisa menghasilkan murid-murid yang berkarakter, tanya kenapa?). Sepulang mengajar, Ibu berjualan keliling. Komoditi utamanya sandang, tapi Ibu juga melayani pesanan apapun. 
Waktu itu pembangunan belum seperti sekarang. Apalagi di daerah pegunungan seperti tempat kami tinggal. Ibu berjalan kaki dari desa ke desa sambil menggendong barang dagangannya. Bapak yang juga guru, menekuni pekerjaan sambilan sebagai tukang foto keliling. Sedikit demi sedikit Bapak dan Ibu menabung untuk membeli tanah di lokasi yang lebih strategis, dekat pusat kecamatan. Setelah tanah terbeli, Bapak dan Ibu membuat toko. Sampai sekarang Bapak dan Ibu mengelola sendiri toko itu. Bapak sudah pensiun, Ibu masih aktif mengajar.

Berbagi Tips
Ini ditujukan kepada para jomblo yang mungkin masih TTGG (takut-takut gimana gitu) dengan stigma ibu mertua yang banyak dihembus-hembuskan di luar sana.

  • Luruskan niat menikah untuk ibadah semata. Kalau niatnya baik, apa yang datang juga mesti baik-baik. Dapat calon suami yang baik, dapat keluarga baru yang baik, dan kehidupan yang baik. In sya Allaah.. :)
  • Menyediakan banyak waktu untuk bersama keluarga baru. Kalau ada rejeki langsung punya rumah sendiri, alhamdulillaah.. Harus rajin berkunjung ke rumah kedua orang tua untuk menjalin hubungan batin yang kuat. Kalau belum, jangan berkecil hati, jadikan kesempatan itu untuk mengakrabkan hubungan. 
Bagi saya, tidak ada mertua. Yang ada Ibu dan Bapak. Setelah menikah, saya punya dua Ibu dan dua Bapak. Ibu dari suami adalah Ibu kita. Ibu yang tertunda karena tidak diberikan Allaah saat kita lahir, tetapi diberikan saat kita menikah.



Read more

Jumat, 17 April 2015

My First Winning Competition

Ini resensi saya yang jadi juara III di lomba resensi Perpusda Banjarnegara tahun lalu. Hadiahnya piala, piagam dan uang 1 juta. Hahay.. *pamer mode on. Nggak lah, cuma juara III juga, tingkat kabupaten pula. Cuma kadang miris kalau lihat lomba nulis hadiahnya cuman .... yah, gitu deh. Secara menulis itu proses kreatif yang berdarah-darah, terutama untuk penulis newbie seperti saya *pengakuan tulus nih.

Dapat info lomba ini dari Mba Siti. Bukunya pun dicarikan karena saya lagi sakit-sakitan waktu itu. Bikinnya mepet dan asli berdarah-darah karena saya memang lagi pendarahan karena Adenomyosis. Waktu dapat kabar juara III, rasanya lebih seneng dari normalnya. Soalnya disambi juga bikin persiapan supervisi pengawas esok harinya. Yang terjadi esok harinya, pagi-pagi sekali saya ke sekolah setor administrasi untuk supervisi, terus kabur ke rumah sakit, mampir ke Perpusda setor resensi. Hari yang dramatis, menurut saya. Tapi dari situ saya bikin quote, "menulislah karena itu menyembuhkan dan membahagiakan" Buktinya waktu lagi kejar detlen itu nggak kerasa sakitnya, waktu dapat hadiah juga bahagia luar biasa. Haha..


Piala dan piagamnya :p

Alhamdulillaaah... ^_^
Eh, ngoceh mulu, kapan resensinya..?!

*********




Resensi Novel 9 Summers 10 Autumns
"Menggapai Dunia Berbekal Cinta Keluarga"

Judul Buku   : 9 Summers 10 Autumns -Dari Kota Apel ke The Big Apple-
Jenis Buku    : Novel Otobiografi
Penulis         : Iwan Setyawan
Penerbit       : Gramedia
Cetakan       : Ketigabelas, Mei 2013
Tebal Buku   : 221 halaman

Dengan ilustrasi sampul yang menyandingkan dua buah apel berlatar pemandangan kota Malang dan New York, buku ini terlihat segar. Terlebih dengan komentar Andy F. Noya yang tertera di bagian bawah sampul, “segar dan inspiratif,” rasanya cukup menggambarkan bagaimana cerita dalam novel ini akan menyuguhkan sesuatu yang baru, sekaligus menginspirasi pembacanya.

Iwan Setyawan, penulis novel berjenis otobiografi ini, adalah salah satu potret anak negeri yang berhasil menembus segala keterbatasan untuk mencapai impian yang tinggi, bahkan tidak terbayangkan sebelumnya. Terlahir dalam keluarga sederhana yang penuh kehangatan, Iwan kecil hanya ingin merasakan punya kamar sendiri. Ia tak pernah membayangkan akan bekerja di New York, salah satu kota paling kosmopolitan di dunia, sebagai seorang direktur.

Novel yang menggunakan alur campuran ini diawali dengan kejadian Iwan yang nyaris terbunuh dalam sebuah aksi perampokan di kota New York. Cerita kemudian bergulir saat Iwan bertemu dengan sosok anak kecil berseragam merah putih yang tidak lain adalah representasi masa kecilnya sendiri. Kehadiran sosok bocah ini memudahkan Iwan memutar ulang masa lalunya dengan gaya tutur yang tidak membosankan.

Iwan melukiskan sosok-sosok yang berarti dalam hidupnya dengan begitu apik. Sosok ibu digambarkan dengan kata-kata “Ibuku, hatinya putih. Ia adalah puisi hidupku. Begitu indah. Ia adalah setiap tetesan airmataku” (halaman 35). Mbak Isa, sang pembuka jalan yang telah menginspirasi adik-adiknya untuk semangat belajar. Bapak, Mak Gini dan Pak Mun, Inan, Rini dan Mira adalah keluarga yang sangat dicintainya. Pada bagian selanjutnya, tergambarkan pula sosok Lek Tukeri yang menyelamatkan kuliah Iwan dengan pinjaman dana yang tidak sedikit. Sosok Yanti Nisro, Director Data Processing di kantor Nielsen, tempat Iwan memulai kerja profesionalnya, dan Nurati Sinaga, yang telah membawa Iwan bekerja di kota New York juga digambarkan dengan penuh rasa terima kasih. Hal ini mengisyaratkan kepada pembaca untuk selalu menghargai jasa orang-orang terdekat.

Di tengah kondisi generasi muda yang kering nilai, novel ini hadir dengan sentuhan motivasi yang kuat. Motivasi intrinsik yang tumbuh justru dari keadaan serba kekurangan, dimana pada awalnya Iwan kecil hanya ingin setara dengan teman-temannya yang dilahirkan dalam keluarga yang lebih mapan. Tidak ada satupun mainan yang diingatnya dari masa kecil. Hanya buku-buku pelajaran yang menjadi teman bermainnya. Dengan kondisi serba kekurangan, terselip pesan untuk menghargai apapun yang dimiliki “impian haruslah menyala dengan apa yang kita miliki, meskipun yang kita miliki itu tidak sempurna, meskipun itu retak-retak” (halaman 21).

Dalam nuansa motivasi yang kuat, terdapat hal-hal penting yang mengantarkan kesuksesan Iwan. Pertama, kehangatan keluarga. Kutipan tulisan Dostoevsky yang tertera di awal buku membantu Iwan mengungkapkan betapa berartinya keluarga bagi kesuksesannya. Tidak ada yang lebih tinggi, lebih kuat, lebih berguna dalam hidup, daripada kenangan masa kecil, yang boleh jadi merupakan pendidikan terbaik sepanjang hidup, tulis Dostoevsky.

Kedua, pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan adalah jalan seseorang mengubah nasib. Bagi Iwan dan keluarganya, pendidikan merupakan pembuka jalan kesuksesan yang tidak bisa ditawar lagi mengingat kondisi serba terbatas yang mereka alami. Karena itulah Bapak berani menjual angkot yang merupakan tumpuan nafkah keluarga demi menyekolahkan Iwan di jurusan statistika IPB. Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia.

Ketiga, kerja keras. Iwan yang kecil dan canggung merasa harus membuktikan kemampuannya dengan kerja keras. Karenanya, ia sempat menjadi Employee of the month di kantor Nielsen, tidak kalah dengan teman kerjanya yang lulusan luar negeri. Kerja keras ini pula yang mengantar Iwan menjadi Director of internal client management di Nielsen New York. Ketiga resep kesuksesan Iwan ini dapat diduplikasi oleh siapa saja sehingga sangat menginspirasi pembacanya.

Meski tidak terlalu mengganggu, buku ini memiliki sisi kekuatan yang juga dapat menjadi kelemahan. Yang pertama, kehadiran sosok khayalan berupa bocah SD berseragam merah putih. Selain memudahkan Iwan menggulirkan cerita dengan apik, bagi yang kurang memahami interpretasi simbolik mungkin akan kesulitan memaknai siapakah bocah itu sebenarnya. Kemunculan dan dialognya juga sering tak masuk akal. Kedua, terlalu banyaknya kata-kata berbahasa Inggris yang tidak disertai terjemahan, di satu sisi dapat mengesankan buku ini lebih berkelas, tetapi juga dapat memunculkan kebingungan bagi kalangan yang kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas.

Meski demikian, novel ini sangat layak dibaca oleh semua kalangan karena nuansa motivasinya yang begitu kental dapat membuka mata hati tentang keterbatasan, kegigihan, dan kesederhanaan  dalam hidup. Novel ini juga menggugah semangat generasi muda untuk meraih impian, setinggi apapun itu. Seperti yang sering dikatakan Iwan, “aku tak bisa memilih masa kecilku. Tetapi masa depanku, akulah sendiri yang akan melukiskannya”

Read more

Deudeuh in My Thought

Posting ulang status fesbuk.

Yang saya sesalkan, kok nggak ada para bapak, paman dan kakak laki-laki yang komen tentang tetot keempat. Huaaa...

Ini nih bunyi statusnya.

Sebenarnya saya malas menyebut nama para newsmaker bernuansa negatif di timeline saya. Misalnya, kedua capres yang sudah bikin polarisasi dan membuat beranda fesbuk saya tak pernah lagi sama itu, seingat saya tidak pernah saya mengetikkan nama mereka di timeline sekalipun :p

Tapi kali ini dhorurot :p
Tentang perempuan ber-inisial D dengan profesi busuk itu.

Sebelumnya, tak sengaja saya buka link tentang generasi pecandu media sosial. http://www.brilio.net/…/15-gambar-ini-hanya-bisa-dipahami-p…

Help! I'm 1... and .... :(

Bicara tentang ABG, bukan pecandu media sosial berpangkat emak dan bapak seperti kita. Salah satu poinnya, maraknya kehamilan di kalangan remaja putri, tentu saja kehamilan tak diharapkan.

Lalu saya coba mengetikkan “help i’m 1 “ di kolom Google Search. Betul, suggestion yang muncul adalah: help i’m 13 and pregnant, help i’m 14 and pregnant, dan seterusnya. Lalu di otak saya bersliweran aneka judul status.. ;p eh bukan ding.. maksudnya, tetot..! saya jadi mikir beberapa poin.

Tetot pertama

Kalau suggestion itu ditampilkan karena banyak yang mencari topik itu, bukan karena bisa-bisanya Mbah Gugel saja, berarti waduh.. kehamilan tak diharapkan di kalangan bocah umur belasan tahun sudah banyak terjadi. Semoga saja bukan di indonesia.

Tetot kedua

Kayaknya berpura-pura naif dan tidak tau pergaulan bebas itu sudah jamak di kalangan remaja Indonesia, itu wagu banget ya? Apalagi ceritanya saya ini guru BK (ceritanyaa lho yaa :p ). Jadi suudzon saja, yang curhat sama Mbah Gugel itu termasuk bocah Indonesia yang bisa bahasa Inggris.

Tetot ketiga

Waduh, kalau sudah begini, tinggal nunggu munculnya D-D berikutnya. Pergaulan bebas itu pintu menuju prostitusi. Kalau para remaja putri sudah nyaman kehilangan kehormatannya, pada kondisi baik-baik saja dan tidak kepepet, maka dalam kondisi kepepet apalagi, melacurkan diri juga enteng saja.

Tetot keempat

Kemana para ayah, kemana para paman, kemana para kakak laki-laki? Mereka layak jadi wali nikah karena sehari-hari bertanggungjawab atas kehidupan para perempuan itu je.. :p

Masih bunyi tetot-tetot yang lain, tapi takut statusnya kepanjangan.

Jum’ah Mubarak teman-teman :)


‪#‎StatusDiniHari‬
‪#‎LemburGaweanSekolah‬
Read more