Rabu, 07 Mei 2014

An Ordinary Teacher's Diary

Terlepas dari sengkarut dunia pendidikan Indonesia yang kian semrawut,hari ini saya cuma pengin cerita. Untuk orang-orang tulus dan murah hati yang saya kenal.

Here is the story..

[24 Februari 2014] Antara Ninochka dan Aisyah
Dalam novel Edensor karya Andrea Hirata terselip kisah Ninochka Stronovsky, mahasiswi asal Georgia yang mendapatkan beasiswa di Sorbonne melalui cara yang unik, yaitu karena keahliannya bermain catur (tapi di Sorbonne jurusannya ekonomi).
Di Indonesia, tersebutlah kisah Aisyah Pulungan, anak 8 tahun yang hidup menggelandang bersama sang ayah yang sakit. Aisyah yang masih kanak-kanak harus mengayuh becak yang juga berfungsi sebagai “rumah” bagi mereka dan mengurus ayah yang tergolek tak berdaya. Sungguh ketangguhan yang luar biasa.Aisyah kemudian berhasil sekolah lagi dengan dukungan masyarakat yang bersimpati karena pemberitaan di media.
Masih tentang anak sekolah, bagi saya kisah Ninochka dan Aisyah punya satu kesamaan; mereka bisa memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan lewat jalan yang tak biasa.
Harapan saya terhadap siswa tidak sefantastis Ninochka dan semoga tidak segetir Aisyah. Hanya agar mereka bisa melanjutkan sekolah, walaupun lewat jalan yang tak biasa. Yang saya maksud “biasa” di sini adalah, melanjutkan sekolah dengan dibiayai orang tua, atau dapat beasiswa karena otak yang cerdas dan prestasi akademik yang mumpuni. Hampir semua anak didik saya berasal dari keluarga kurang mampu dan kecerdasannya juga pas-pasan.Sekolah kami selalu menghuni deretan juru kunci nilai UN di kabupaten. Jalan yang biasa sulit sekali dijangkau. Setiap tahun, hanya sekitar 5 anak yang bisa melanjutkan. Sebagian besar lainnya segera terserap di sektor informal sebagai buruh kasar atau petani gurem, yang perempuan segera dilamar pemuda kampung sebelah.
Bukan suatu keburukan memang, tapi tidak memberikan nilai tambah bagi masa depannya.
Melanjutkan sekolah dengan cara yang bukan mainstream ternyata bukan tidak mungkin.
Saat ini, beberapa sekolah yang semakin “aware” dengan nama baik di bidang akademik dan non-akademik telah membuka kelas unggulan dengan keringanan biaya yang lumayan, bahkan bisa gratis sepenuhnya. Beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah juga membuka kesempatan untuk kuliah gratis bagi atlit berprestasi. Salah satu siswi kami yang berprestasi di bidang silat dan saat ini masih duduk di kelas 9 sudah membuktikannya. Dia menjadi rebutan MAN dan SMK Muhammadiyah, keduanya menawarkan gratis biaya pendidikan.

[1Maret 2014] Terima Donor Berat Badan
Ada yang bilang “success doesn’t just happen, it’s planned for.” Setelah ngiler dengan tawaran beasiswa penuh untuk atlit berprestasi, bahkan mungkin hingga kuliah nanti, kami pun berusaha menggenjot prestasi di bidang silat. Dalam mindset kami,tawaran seperti ini sungguh menggiurkan. Masih terbayang ketika sekolah dan kuliah dulu dengan biaya pas-pasan. Tetapi di sini, hanya ada beberapa gelintir siswa yang sungguh-sungguh terinspirasi. Latihan silat tidaklah ringan. Perlu motivasi dan komitmen tinggi. Kondisi ekonomi keluarga yang berdampak pada keterbatasan uang saku juga berperan menyurutkan semangat.Latihan silat yang menguras energi memerlukan uang saku lebih untuk membeli makan siang. Anak yang kurang motivasi akan segera mundur. Kami berusaha mencukupi makan siang anak-anak sebelum latihan. Kebanyakan siswa yang ikut latihan juga berasal dari keluarga kurang mampu.
Adalah Putri, siswi kelas 8 yang terlihat berasal dari keluarga cukup mampu. Saat kami berkunjung kerumahnya untuk memohonkan pamit Putri mengikuti camp latihan, baru kami tahu kondisi keluarganya. Kursi tamupun tak punya. Jamban, jangan harap. Orang tua Putri bekerja di  Jakarta. Putri tinggal bersama kakek, nenek,dan adik-adiknya. Nenek Putri buta. Secara resmi, Putrilah yang mengurus semua pekerjaan rumah tangga. Setiap hari, Putri harus berjalan menuruni bukit untuk keperluan MCK. Pulangnya, ia harus membawa ember besar berisi cucian basah di jalan menanjak. Pantas saja ototnya mengeras. An advantage for us. Melihat keadaan Putri, kami semakin terpacu untuk berbuat sesuatu.
Lain lagi cerita Sholihin dan Masduki, siswa kelas 7. Kedua anak ini semangatnyaluar biasa tetapi bobotnya kurang. Bahkan untuk ikut kelas A dengan ketentuan bobot 34-37 kg, mereka masih kurang banyak. Anak kelas 7 SMP, beratnya 28 dan30 kg. Cukup menggambarkan tingkat kecukupan gizi mereka selama ini. Mengingat mencari anak yang semangat latihan tidaklah mudah, kami tetap memasukkan merekake dalam tim dan merencanakan penambahan berat badan. Tetapi, untuk memenuhi konsumsi 14 anak dengan 2 anak yang harus ditambah berat badannya, kami menemui kendala klasik, dana.
Dengan siswa hanya 134, dan dana BOS Rp. 710.000/siswa/tahun, maka dana BOS tiap bulan benar-benar hanya cukup untuk operasional sekolah. Biaya kegiatan siswa hanya kegiatan inti, itupun ngepres, biaya persiapan, seperti latihan, tidak ter-cover. Penggunaan dana BOS juga harus tunduk pada Juknis (petunjuk teknis) dan diawasi Inspektorat demi predikat WTP (wajar tanpa pengecualian). Ribet memang.  Program penambahan berat badan sangat tidak lazim di sekolah, dan mungkin memunculkan pertanyaan “ini sekolah apa posyandu?” -_-  Sayangnya alat donor berat badan belum ditemukan. Kalau ada alatnya, saya orang pertama yang mau mendonorkan berat badan. ^_^

[10Maret 2014] The people called altruist
Hari gini masih ada orang tulus? Jawabnya, masih banyak! Saya termasukyang beruntung dipertemukan dengan mereka lewat Facebook. Di tengah kegalauan mengingat kondisi keuangan sekolah yang tidak memadai dan keluarga siswa yang juga kurang mampu, ternyata banyak yang bersedia menjadi donatur.  Meski saya bahkan belum pernah bertemu mereka,tapi mereka tak segan mengulurkan tangan. Sebenarnya takut sih mengelola amanah ini, tapi tidak ada jalan lain. Anak-anak membutuhkannya. Alhamdulillaah.. Saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan mereka. Hanya Allah yang mampu membalas. Catatan ini untuk mengabadikan rasa terima kasih saya. Semoga, catatan amal kebaikan juga tertulis dengan indah bagi mereka semua. Amiin..

[18Maret 2014] Ketika sportifitas diuji
Popda  yang dinantikan tiba juga.Baru saya tahu, Popda  tidak hanya jadi ajang prestasi antar sekolah, tapi juga ajang pertaruhan nama perguruan silat. Tahun ini, konon pertarungan semakin sengit. Saya sering mendengar ulah tidak sportif yang biasa dilakukan di pertandingan olahraga. Sedikit info, misalnya ngebon atlit, memudakan umur, dan pakai bantuan dari alam gaib. Tidak usah saya perjelas.
Sejak awal kami sepakat, tidak akan memakai cara-cara tidak sportif itu. Namun itu juga berarti kami harus siap menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih tangguh lahir dan “batin”.
Ketika atlit berubah mood sesaat menjelang pertandingan atau pandangannya tiba-tiba kabur, tak jelas melihat lawan, maka kemungkinan iaterkena gangguan. Cara menghalau yang paling efektif hanya memperbanyak dzikir.Ilmu olah kanuragan bagi beberapa perguruan silat memang disandingkan dengan ilmu kebatinan. Yang ini juga tidak usah saya perjelas.
Partai 4 gelanggang 2 seharusnya jadi ajang Sholihin berlaga hari itu,tapi sampai saat penimbangan ulang ternyata bobotnya masih kurang. Program penambahan berat badan terlalu mepet dengan pelaksanaan. Sholihin otomatis diskualifikasi dan lawannya menang tanpa bertanding. Kecewa tentu, tapi tak saya lihat wajahnya keruh. Sebenarnya ia bisa lolos kalau pada saat penimbangan diberi bandul, tapi tidak kami lakukan. Kekalahan dalam sportifitas sepertinya lebih baik bagi pembentukan karakter anak. Caleg depresi pastinya tidak belajar hal ini di sekolahnya dulu.
Kami pun pulang dengan hanya membawa 1 medali emas (tapi bukan emas beneran, hanya simbol saja). Tak apa, kami tetap bersyukur.  Tahun ini pertama kalinya kami berani menurunkan full team. Hanya 2 anak yang sudah berpengalaman, yang lain debutan. Jadi  program prestasinya agak jangka panjang.

[1 April 2014] Kilau gemintang di bumi
Hiruk-pikuk Popda telah berlalu,kembali ke rutinitas di sekolah. Ada nuansa berbeda yang saya rasakan. Kini kegiatan tadarus lebih hidup karena telah ada Al-Qur’an di setiap kelas, satu anak satu Al-Qur’an. Dulu, di pagi hari sering semrawut karena Al-Qur'an hanya berjumlah 24, tiap kelas harus rebutan kalau mau tadarus. Menyuruh anak membawa kurang efektif, karena kebanyakan juga tidak memiliki Al-Qur'an sendiri. Paling milik masjid atau TPQ di desa.
Kini, tadarus jadi lancar. Semoga pahala mengalir untuk para donatur dari tiap huruf yang dibaca anak. Juga dari setiap kebaikan yang timbul dari kegiatan tadarus rutin ini. Jangka pendek maupun jangka panjang. Amiin..
Teringat suatu hadits..
Rumah yg di dalamnya dibacakan Al-Qur’an akan terlihat bagi penduduk langit sebagaimana penduduk bumimelihat gemerlap bintang-gemintang di langit'" (HR Baihaqi)
Kami berharap sekolah ini terlihat berkilau dari langit, meski terpuruk dalam pandangan manusia karena segala keterbatasan yang ada.
Setiap sehabis tadarus juga kami berkesempatan berdoa apa saja,tentunya untuk segala kebaikan bagi anak-anak dan sekolah ini. Hanya ini yang bisa kami lakukan. Berdoa agar lepas dari kungkungan kebodohan dan keterbelakangan, langsung kepada Pemilik alam semesta.
Bantuan donatur juga berpengaruh ke pelajaran Bahasa Inggris. Anak-anak tak mampu membeli kamus. Alhamdulillah, kini setiap pelajaran Bahasa Inggris, anak-anak memegang masing-masing satu kamus, jadi tidak bermasalah dengan vocabulary lagi.
Hari-hari ini, kelas menulis yang saya pandu juga sedang ada gawe,yaitu persiapan lomba FLS2N. Ada lomba cipta cerpen dan cipta puisi yang akan kami ikuti. Ini pertama kalinya kami ikut lomba FLS2N. Tak ada target. Membawa anak ikut lomba dan melihat kota paling targetnya. ^_^ Nasriyah dan Yulia yang dipilih ikut lomba ini berlatih dengan semangat. Alhamdulillah, saya jadi optimis nanti kami nggak akan malu-maluin meski baru pertama kali ikut.

[19 April 2014] Langkah awal yang manis
“Selamat ya Bu,” ucap Kepala Sekolah pagi itu. Saya pun bertanya,“selamat untuk apa ya Pak?”
Ternyata, Yulia dapat juara II lomba cipta puisi FLS2N. Prestasi dari kelas menulis sudah mulai menetas. Alhamdulillah.. Dulu, hanya prestasi di bidang olahraga yang bisa kami raih, tapi dengan semangat dan optimisme, nyatanya prestasi non-fisik pun mulai singgah di sekolah kami. Bukan ingin jadi kolektor piala.Tetapi prestasi itu sangat berarti untuk anak agar bisa mendapatkan keringanan biaya saat melanjutkan sekolah. Prestasi juga membantu memupuk rasa percaya diri pada anak-anak, bahwa ternyata mereka juga bisa. Saya percaya, Allah meridhoi niat dan usaha yang tulus. Prestasi Yulia jadi langkah awal yang manis untukmemulainya. Bismillah..

[2 Mei 2014] Sekolah, baca Al-Qur’an dan berkelana
Kalau ingin mengubah hidup, tiga resep itu yang paling jitu. Itu kata Bu Muslimah, ibu guru kharismatik di Laskar Pelangi. Saya sangat sepakat. Sekolah bukan untuk mencari gelar, tapi untuk meningkatkan level pemikiran di segala bidang. Sekolah tidak harus di lembaga persekolahan, tapi bisa dimana saja. Saat kita belajar, di situlah sekolah. Baca Al-Qur’an, karenadi sanalah terdapat intisari ilmu pengetahuan. Kecintaan kepada Al-Qur’an inilah yang berusaha kami tanamkan lewat kegiatan tadarus. Berkelana, untukmemperluas bentang cakrawala. Yang ini secara kasat mata sulit. Anak-anak ini,melihat kota Banjarnegara saja banyak yang belum pernah, bagaimana mungkin melihat dunia. Tapi bila punya tiket bernama prestasi bukan tidak mungkin akan membawa mereka keliling dunia. Saya berharap, dengan mereka mengubah hidupnya, mereka akan jadi agen perubahan untuk masyarakat desanya. Amiin..
Read more

"KAMU" bukan "KALIAN"

Ini adalah posting percobaan saat mencoba membuat blog. My very first post on blog. Diambil dari arsip status Facebook. Happy reading..

"KAMU" bukan "KALIAN"

Nulis lagi...  Udah “hutang” banyak tag sama teman-teman yang jauh lebih produktif menulis. Tulisannya bagus-bagus lagi. Setelah biasanya share kegalauan tentang dunia pendidikan, kini sedang mencoba berganti nuansa. Tetap galau sih, tapi agak happy ending di akhirnya.

Ehm.. Begini..

Jaman saya SMP dulu, sekolah saya pernah kedatangan KKN UGM, dari Fakultas Psikologi. Masih ingat betul namanya mba Suli Fatimah dan mas Putu Mandau (gimana kabar beliau2 sekarang ya? Ada yang kenal kah?  ). 
Kami diajak diskusi. Mba Suli bertanya, saya lupa redaksi kalimatnya, tapi intinya “what bothered you most at school?” apa yang paling bikin bete di sekolah.Kami anak-anak kampung yang stereotipnya malu mengungkapkan pendapat, jadi cuma senyum-senyum dan sikut kanan kiri. Tetapi akhirnya ada juga yang bersuara. Saya lupa siapa, tapi yang jelas bukan saya  Meski lupa siapa orangnya, saya masih ingat curhatnya, yaitu “gimana menghadapi guru yang marah karena ulah seorang teman di kelas, tetapi guru tersebut lantas mogok mengajar sehingga seluruh kelas jadi kena imbasnya.”

Jawaban beliau2 waktu itu, lagi-lagi saya lupa redaksinya (maklum udah lamaaa nian), tapi intinya, para guru seringkali menganggap salah satu atau beberapa teman sebagai representasi seluruh kelas. Padahal teman yang berulah tidak mewakili mayoritas teman, alias berdiri sebagai individu yang independen (cieeh..  ). 
Tetapi di mata guru, “kamu” berulah ----> “kalian” semua berulah. 
Sungguh tidak adil. 
Entah mengapa (pastinya dengan izin Alloh), konsep “kamu” bukan “kalian” ini melekat terus di ingatan saya.

Nah kini, tiba giliran saya jadi guru. 
Meski jauh dari predikat guru ideal, tetapi ketika mengajar di kelas tentu saya mengharapkan yang serba ideal. Sayangnya realita sungguh bertolak belakang.Begini kira-kira..

Scene idaman:

Pagi yang cerah, secerah hati ibu guru (  ). Sekolah terlihat bersih, suasananya hangat. Semua siswa sudah masuk kelas, siap menimba ilmu dari bapak ibu guru yang telah menyiapkan pembelajaran yang hebat. 
Jadwalku? Ow.. ada 1 jam BK di kelas 8A, membahas tentang pubertas. 
Masuk kelas dengan semangat, anak-anak menyambut dengan salam yang kompak. Semua terlihat bersih, rapi, dan sehat. Pastinya sudah mandi dan segar, siap untuk belajar.Beberapa saat apersepsi tentang materi yang akan disajikan, anak-anak tampak responsif. Makalah yang ditugaskan seminggu yang lalu sudah siap dipresentasikan, rupanya keberadaan internet sangat membantu. Mereka segera membentuk kelompok. 
Presentasi dan diskusi berjalan dengan seru. Sungguh menyenangkan.

Terbangun dari mimpi. Inilah dia..
Scene realita:

Pagi yang cerah. Kantor guru sepi, hanya terlihat 2 guru. Jumlah kelas ada 6, berarti 4 kelas belum ada gurunya. Pukul 07.15 bel berbunyi, entah kenapa terdengar parau dan sendu, sesendu hati ibu guru (  ). 

Bapak ibu guru yang lain pasti masih di jalan, menempuh perjalanan harian yang panjang. Ada yang berangkat dari rumah sebelum subuh, mengalami pergantian hawa yang ekstrim. Dingin, panas, lalu dingin lagi. Ban bocor, rantai lepas, kehabisan bensin, itu cerita yang biasa. Setiap hari harus menempuh perjalanan jauh juga bikin degradasi fisik lebih cepat dari normal.

Seperti di kebanyakan sekolah, guru BK juga menjabat sebagai GPA (Guru Piket Abadi  ), jadi harus siap dengan kondisi seperti ini. Meski bel telah berbunyi, anak-anak masih di luar kelas. Tas masih di punggung, belum ditaruh di dalam kelas, entah mengapa. 

Satu persatu kelas dimasuki bu guru. Anak-anak baru mau masuk kelas kalau sudah disuruh. Ketua kelas menyiapkan dan memimpin doa. Bu guru memberikan tugas sesuai mapel. Apersepsi alakadarnya.., lha wong tanpa persiapan. Untungnya sudah biasa jadi guru loncat-loncat. Sedikit-sedikit menguasai, ah.. bukan menguasai, tapi setidaknya mengetahui materi pelajaran dari kelas VII sampai kelas IX. Pernah juga jadi guru Bahasa Inggris, Biologi, Fisika dan TIK. Guru BK selalu dianggap guru pengangguran, jadi kalau ada sesuatu dengan guru resminya ( e.g. cuti, pindah belum ada pengganti, diklat, dll) pasti disuruh menggantikan. 
Guru mapel jadi-jadian, asal jangan abal-abal. Kalau lagi mujur, anak-anak nurut, tak protes. Kalau nasib kurang berpihak, anak-anak protes, banyak keluhannya. Tak segan bilang “awang-awangen” (males banget). Ramai-ramai ijin ke belakang. Entah mengapa mereka begitu menikmati perjalanan ke toilet siswa di pojok sekolah itu. Seringkali tertambat ke kantin yang kebetulan dekat dengan toilet. Bu guru berusaha maklum. Tak banyak prestasi akademik yang bisa diharapkan dari anak yang sedari kecil kurang stimulasi, di TK harus duduk anteng dan diam, dan di SD sering ditinggal gurunya latihan pakai laptop, PLPG dan tetek bengek sertifikasi. Saat masuk SMP, penjumlahan dan pengurangan saja belum lancar. Juga mental hectic tingkat dewa. Jenuh luar biasa.

Satu kelas terkondisi, beralih ke kelas yang lain. Lalu yang lain lagi. Ritualnya sama. Terakhir, dengan ngos-ngosan sampai juga di kelas sendiri. Ah ya, harus membahas pubertas ya? 

Sekilas apersepsi, anak-anak putra langsung bikin bete. Topik yang mengundang kata-kata jorok. Sedikit-sedikit tertawa. Mending kalau tertawa biasa. Ini sambil gebrak-gebrak meja. Heboh luar biasa. Anak putri nampak sebel, mungkin dalam hati merasa jadi objek. Sebelum ada SMP di sini, kebanyakan lulus SD langsung menikah. Jadi, mereka sebenarnya sudah “usia nikah” saat ini, makanya sebagian pikirannya sudah matang. Tetapi sebagian belum. Nah ini susahnya. Ingin menerangkan duduk persoalan pubertas pada semuanya, terganggu yang sudah “matang” tadi. The show must go on. 

Sambil terus mengkondisikan kelas, topik ini dibahas. Jangan tanya betenya. Kebayang perasaan guru yang marah dan mogok mengajar di awal cerita ini. Yang bikin bete beberapa, tapi sungguh sulit melokalisir masalah. Kalau tidak hati-hati, yang serius belajar jadi kena imbasnya. Himbauan standarnya adalah “sarapanlah setidaknya dua porsi kesabaran, dengan piring tahan banting, ditambah segelas jus lapang dada” *lebay mode on*

Lelah.. iya. Jenuh.. banget. Pengin pindah.. normally yes! Terlihat di sekolah lain, guru BK nampak damai sentausa (at least itu kesimpulan saya kalau ngobrol2 dengan guru BK lain di pertemuan). Ini baru sebagian kecil realita guru BK yang saya ceritakan. Yang lain masih banyak, perlu “ketegaan” tersendiri untuk menceritakannya. 

Hiburan standarnya adalah (dari tadi standar mulu), tak usah silau dengan rumput tetangga yang lebih hijau, karena di sanalah tempat pussy buang pup  

Eits... kalau udah cerita realita suka lupa waktu. Back to topic..

Saat situasi kelas dan sekolah secara umum kurang kondusif, memang lebih mudah menggeneralisir kualitas anak didik. Hanya gara-gara beberapa anak bikin kisruh, seluruh kelas jadi jelek. Bad mood mengajar pun sulit dihindari. Di sekolah, hanya gara-gara beberapa anak suka bikin onar, sekolah dapat label negatif. Padahal di tengah itu semua, ada juga individu-individu yang cemerlang, bahkan melebihi harapan.

Sahabat dan rekan kerja saya, Bu Genuk yang membuka mata saya akan hal ini. Konsep “kamu” bukan “kalian” ini diterapkan untuk menjaring potensi siswa. Kuncinya: lebih jeli melihat potensi anak didik, meski berada di kelas yang kurang kondusif. Pembinaannya pun bersifat individu, atau dalam kelompok kecil yang setara kualitasnya. Ibu satu ini guru olahraga. Pendekar silat juga. Hasil binaannya mengejutkan. 

Tahun lalu, anak didik kami berhasil sampai ke tingkat provinsi, dapat juara III Popda untuk cabang pencak silat. Komite sekolah terkejut. Ini prestasi yang jarang dicapai sekolah gunung yang lain. Tahun ini berhasil dapat juara I dan II di turnamen silat Tapak Suci tingkat provinsi juga.

Kami lebih suka lomba-lomba yang based on performance seperti olahraga. Dalam pertandingan silat misalnya, langsung jelas siapa menang siapa kalah. Kalau lomba yang based on judges, nggak bakalan lah nama sekolah kami diperhitungkan. Misalnya lomba nyanyi yang penilaiannya sarat unsur subyektif juri. Apalagi lomba akademik. Mana mungkin mengalahkan anak-anak kota yang sibuk bimbel itu. Konon, sebelum lomba saja sudah ketahuan siapa juaranya (katanya lhooo...).

Prestasi individu juga diraih Udin Suryadi  yang berhasil mewakili kabupaten ke even Jambore Nasional di OKI, Sumsel. Padahal pembinaan pramuka di sekolah kami alakadarnya, karena kurang SDM. Tapi ya itu, bukan berarti nggak ada individu berpotensi. Meski gurunya belum pernah kesana, rasanya bangga kalau murid bisa sampai kesana duluan.

Prestasi itu mungkin biasa bagi sekolah kota. Tetapi di sini sungguh luar biasa. Bukan piala yang jadi tujuan, tetapi lebih pada pengakuan dari luar, bahwa anak gunung juga bisa. Piala juga sangat berarti untuk anak-anak. Apalagi mereka boleh bawa pulang piala aslinya. Sekolah yang membuat duplikat untuk disimpan. Mereka senang sekali dapat piala. Teman SD mereka yang lebih pintar dan mampu secara ekonomi, yang dulu gengsi masuk sekolah ini dan mendaftar ke sekolah favorit, nyatanya tidak berprestasi apapun.

Rahasia Bu Genuk, anak-anak dibina dari hati ke hati. Sering diajak menginap di rumahnya. Ditunjukkan medali, piala dan piagam yang diraihnya (beliau dulu atlit nasional lho..). Dikisahkan cerita-cerita prestasi. Anak-anak sangat termotivasi. Apalagi setelah satu demi satu prestasi diraih, kepercayaan diri semakin terbangun. Beberapa sudah bercita-cita ingin jadi atlit nasional. Bukan sekedar cita-cita, tapi sudah jelas path-nya.

Menurut bu Genuk, guru berprestasi bukan guru yang sering diundang diklat naik pesawat, bukan pula yang menang lomba tingkat nasional karena pembelajaran rekayasa yang cuma bagus di dokumentasinya (tapi kalau benar2 mencerahkan siswa berarti berprestasi betulan). Guru berprestasi adalah guru yang mencintai anak didiknya, menyuntikkan semangat di tengah pesimisme, membangkitkan prestasi di tengah ketidakberdayaan.

Cita-cita kami, anak bisa melanjutkan sekolah, syukur sampai kuliah, dengan gratis. Ternyata hal ini bukan tidak mungkin. Bella, anak yang juara silat itu, sudah diperebutkan dua sekolah. SMA dan MAN. Totally free, malah ada yang menawarkan uang saku juga. Alhamdulillah.. Angkat topi deh buat sahabatku, Bu Genuk. This is a tribute for you, Dear..

Kejelian bu Genuk melihat potensi juga berlaku pada saya. Kami biasa ngobrol di sekolah, sampai di rumah pun masih berlanjut lewat WA. Saya banyak belajar darinya, terutama semangat dan dedikasinya. Sarannya suatu hari..
“Jeng, daripada cuma menemani aku ekstra silat, mending njenengan bikin kegiatan juga”
“Kegiatan apa Bu? Lemburan juga banyak kok, nggak papa tak temani aja.”
“Maksudnya kegiatan yang mengembangkan potensi anak,” katanya.
“Bikin ekskul? Tapi aku nggak menguasai ekstra yang ada di SK. Dulu pernah memandu ekstra KIR juga gitu2 aja. Pemandu abal-abal, hiks.. Lagian kalo nambah ekskul kasihan sekolah harus mikir honornya” (karena bendahara jadi tahu situasi keuangan)
“Nggak harus yang di SK ‘kali, bikin kegiatan sendiri aja. Njenengan kan bakat nulis. Coba itu Nasriyah dibimbing. Pasti jadi bagus.” (bakat nulis itu menurut Bu Genuk lho, aslinya mah biasa aja  )
“Iya ya? Coba deh ta’ tawari mau apa nggak anaknya,” jawab saya. Saran yang bagus juga.

Nasriyah ini memang luar biasa. Meski berasal dari keluarga kurang mampu, bakat linguistiknya sangat menonjol. Misalnya, saat mengungkapkan alasan menyukai sebuah acara TV, anak lain cuma bisa kasih alasan “karena bagus”, “lucu”, dll, itupun dengan berpikir keras, tapi Nas bisa bikin esai setengah halaman. Saat bikin puisi, anak lain dengan susah payah menghasilkan 2 – 3 bait, Nas bisa 2 halaman dengan diksi yang memadai. Meski bukan guru Bahasa Indonesia, saya tahu lah yaa... (guru BK juga mesti serba tahu  ).

Sambil menemani Bu Genuk dan anak-anak latihan silat, saya dan Nas menghabiskan waktu di perpustakaan. Anak ini semangat luar biasa. Bahkan ketika saya tidak berangkat pun, dia berinisiatif meminta kunci perpus, membaca dan menulis sampai sore seperti yang saya tugaskan. Sendirian. 

Saya juga dibuat terkesima dengan cerpen pertamanya. Cerpen anak tentang keluarga. Dikonsep tanpa coretan, dalam waktu singkat, dan jumlah halamannya pas. Saya yakin, tidak sehebat itu waktu seusia dia. Bahkan sampai sekarang pun. Kalau mengonsep tulisan, pasti penuh dengan coretan, dan kebanyakan tak selesai. Karena sekarang udah jaman laptop, tulisan saya bahkan banyak yang masih berupa nama-nama file tok, belum ada isinya. Hiks...! 

Tapi ternyata anak gunung bisa lho.. 

Sekarang, tiap sore sekolah selalu ramai. Biasanya, di sekolah gunung, segera setelah bel pulang berbunyi, sekolah akan sepi nyenyet. Tadinya ekskul kurang jalan, karena sifatnya top-down, ekskul diadakan berdasarkan SK resmi, mengikuti mainstream ekskul yang ada di sekolah-sekolah lain. 

Tapi sekarang, ekskul berdasarkan passion siswa. Saat guru berhalangan pun mereka latihan sendiri. Kalau sudah begini, guru jadi ikut semangat. Mengejutkan, setelah kegiatan saya dan Nas berjalan, beberapa anak mendekat, dan bilang ingin bikin cerpen juga. Meski bukan ekskul, kegiatan ini ternyata banyak peminatnya. Dan karena bukan ekskul, sekolah tak perlu repot memikirkan honor saya. Lupakan cerita soal guru di kota yang gaji dan tunjangan sertifikasinya utuh, karena honor ekskulnya selangit. Wah, kaya raya dong..?

 Bagi saya, melihat anak-anak bersemangat, itu sudah honor yang luar biasa. Kantong tipis dan sepatu kreditan (walah, disebut lagi) bukan masalah, yang penting hepi..

Kiat ini juga berlaku untuk pembelajaran. Tak perlu marah-marah meski mayoritas anak bikin kisruh, pasti tetap ada satu dua yang ingin belajar. Dekati anak yang ingin belajar itu di luar kelas. Tawarkan privat khusus untuk mengejar ketertinggalan karena ulah teman sekelas. Buat mereka menguasai materi. Bagi yang suka bikin onar itu, sebenarnya yang mereka perlukan adalah bukti, bahwa pendidikan oleh guru lahir dari rahim kasih sayang, bukan pendidikan yang memenjarakan. Bukti bahwa guru bersungguh-sungguh ingin mendidik. Saat mayoritas mereka menolak belajar, tunjukkanlah kasih sayang itu pada individu yang masih mau menerima. Pelan tapi pasti, mereka akan melihat kasih sayang itu terpancar dari teman mereka sendiri. Ternyata temanku bisa, berarti aku juga bisa. Bu Guru tidak membual. Mengejutkan, ternyata situasi kelas menjadi jauh lebih kondusif.

Usia remaja adalah masa dimana konformitas begitu tinggi. Transmisi nilai lebih mudah dari anak kepada sesamanya, melebihi efektifitas transmisi nilai dari guru ke siswa (ini berdasarkan pengalaman lapangan lho, teorinya.. entahlah). Biarlah anak yang “menyampaikan” ternyata belajar itu menyenangkan, ternyata bapak ibu guru baik, ternyata kita tak perlu bikin ulah untuk diperhatikan. Bagaimanapun, guru di sini adalah orang yang dipandang berasal dari kota, berpakaian batik rapi dan aneka atribut pegawai. Bukan tipikal penduduk desa yang biasa dilihat sehari-hari. Tak mudah menyampaikan sesuatu dengan “bahasa” mereka, karena perbedaan kultur kerap membuat mental block, meski cuma kultur “agak kota” dan “desa gunung”, dan masih satu daerah. Saat transmisi nilai dan ilmu dibantu oleh teman mereka sendiri, segalanya lebih mudah. “kamu” yang semangat belajar bukan tidak mungkin akan menjadi “kalian” yang semangat belajar. Semoga.
PS :catatan ini tak hendak menggarami lautan, menggurui yang sudah mumpuni, memamerkan pengabdian yang tidak seberapa... hanya ingin berbagi kisah dari balik pegunungan, barangkali bermanfaat.



Read more