Jumat, 08 April 2016

Cerita Inspirasi: Kisah Tempayan Retak


Seorang petani membeli dua buah tempayan untuk membawa air ke rumahnya. Sayangnya, satu tempayan berlubang di bagian bawah. 


Petani itu tidak mempermasalahkan kebocoran tempayan. Ia tetap menggunakannya untuk membawa air dari sumber air ke rumahnya.


Tempayan yang tidak bocor selalu mengejek tempayan yang retak itu. Setiap kali air merembes lewat retakan, tempayan yang tidak bocor menertawakannya dengan penuh kebanggaan.


Suatu hari, tempayan retak tidak tahan lagi. Ia merasa dirinya tidak berguna. Setiap kali Petani membawa air ke rumahnya, terlalu banyak yang menetes di jalan. Akibatnya yang tersisa setelah sampai di rumah hanya sedikit saja. Tempayan retak meminta Petani membuangnya saja.


Petani hanya tersenyum dengan bijak.
"Apakah kau melihat jalan yang kita lewati?" kata Petani.


Mereka lalu menelusuri jalan yang biasa dilewati saat mengambil air. Ada banyak bunga indah di sepanjang jalan.
"Apakah kau melihatnya? Air yang kau teteskan setiap melewati jalan ini telah menumbuhkan bunga-bunga yang indah."
Sebenarnya, ketika mengetahui tempayannya bocor, Petani tidak menyerah. Ia menaburkan bibit bunga di sepanjang tepian jalan. Setiap hari air yang menetes dari tempayan retak telah menyiraminya sehingga bunga-bunga itu tumbuh subur.


Tempayan retak kini mengerti. Walaupun ia mempunyai kelemahan, bukan berarti dirinya tidak berguna. 

Moral of the story: Meskipun kita mempunyai kekurangan (siapa sih yang tidak?) kita tidak seharusnya terus menerus bersedih. Kita masih dapat menjadi orang yang berguna dengan segala kelemahan kita.

---o0o---
Read more

Selasa, 21 April 2015

Ibu yang Tertunda






Saya dan suami menikah melalui proses ta’aruf. Singkat bin padat deh prosesnya. Ketemu pertama pas ta’aruf, ketemu kedua lamaran keluarga, ketemu ketiga pas ngurus surat-surat nikah. Ketemu keempatnya di pelaminan deh.. Alhamdulillah, segala sesuatu dipermudah-Nya. Mungkin sebagai belas kasih Allaah buat saya yang melalui proses penantian cukup lama tanpa pacaran. 

Khusnudzon dan Niat

Karena proses yang singkat, saya pun tak sempat mengenal keluarga suami. Hanya sekilas melihat waktu khitbah. Jangankan keluarganya, calon suami pun belum saya kenal betul. Cuma lewat biodata dan penuturan Ustadz yang membantu proses ta’aruf kami. Modal khusnudzon saja, saya lihat keluarga calon suami sangat baik, termasuk calon ibu saya.

Setelah menikah, saya sempat LDR selama enam bulan, menyelesaikan tahun pelajaran yang sedang berjalan di SDIT tempat saya mengajar. Saya menyampaikan kepada suami, setelah selesai tahun pelajaran itu saya ingin quit dan ikut suami yang masih tinggal dengan orang tuanya. Saya berniat tinggal di rumah keluarga suami dan tidak segera tinggal terpisah. Saya ingin mengakrabkan hubungan dengan mereka. Merasakan menjadi bagian dari mereka. Meski banyak cerita tentang pahitnya tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah), saya yakin setiap keluarga punya cerita sendiri. Cerita orang lain belum tentu terjadi pada saya kan? Hehe..

Niat itu ternyata disambut baik oleh keluarga suami. Bapak dan Ibu langsung menawarkan saya mengajar di MTs Muhammadiyah terdekat. Kebetulan ada guru yang quit juga disana. Jadi, saya pun tak sampai mati gaya sambil menanti kehadiran buah hati di keluarga kecil kami.

Mengenal Profil Ibu

Seorang ibu adalah nyawa dalam sebuah rumah. Ruh dalam interaksi keluarga. Itu yang selalu saya rasakan di setiap rumah yang saya tinggali. Mulai dari rumah orang tua saya, rumah kos, rumah keluarga suami, dan sekarang rumah saya sendiri (saya dong nyawanya, hehe :D ). Setelah tinggal di rumah keluarga suami, saya pun merasakan Ibu adalah warna dalam rumah itu.

Keluarga kami, formasi lengkap :D

 Semakin lama mengenal Ibu, saya semakin menyayangi beliau. Saya menganggap beliau adalah ibu yang tertunda. Ibu saja, tidak pakai embel-embel mertua. Profil ibu mungkin bisa sedikit saya gambarkan disini.
   
1)  Sederhana dan Shalihah
Alhamdulillaah, tsumma alhamdulillaah.. Setelah menikah, saya bisa belajar banyak dari sosok wanita seperti Ibu. Meski terbilang sukses sebagai PNS dan pedagang, Ibu tetap hidup sederhana. Pengelolaan keuangan dibuat sehemat mungkin. Pencapaian keluarga saat ini tak lepas dari kelihaian Ibu mengelola keuangan.
Bukan sekali dua kali prahara melanda akibat kegagalan usaha putra pertama. Jeratan hutang yang melilit  kakak sulung terpaksa diambil alih oleh Bapak dan Ibu. Jumlahnya milyaran. Sampai saat ini, keluarga kami masih berusaha mengatasinya. Di tengah kondisi sulit seperti sekarang, kebiasaan Ibu berhemat dan hidup sederhana membuat secara mental kami semua relatif stabil menghadapi kesulitan keuangan. Toh sudah biasa hidup seadanya. Alhamdulillaah..

2) “Anak, bukan menantu”
Ini perkataan ibu saya waktu ditanya tetangga.
Niki putra mantune, Bu?” (ini menantunya, Bu?”)
Ibu menjawab, “Mbiyen mantu seniki anak” (Dulu menantu, sekarang anak)
Itu terjadi di awal sekali saya menikah. Dialog itu menjadi pondasi yang kokoh untuk membangun interaksi kami selanjutnya. Saya jadi tahu bagaimana tempat saya di hati Ibu dan bagaimana saya harus menyikapinya.
Meski dianggap anak sendiri, Ibu tetap berusaha membuat saya betah. Suami pernah bertanya, apa ada sikap Ibu yang membuat saya tidak kerasan? Ternyata Ibu yang menyuruh suami menanyakannya. Saya pun buru-buru menjawab, tidak ada. Hehe..

      3) Multitasker
Ibu dengan lima anak, punya karir sebagai guru, dan memiliki usaha dagang, tidak mungkin  bisa dilakoni kecuali dengan multitasking. Itu baru saya resapi setelah punya anak, menyadari “oh betapa rempongnya” :D
Tapi Ibu saya bisa. Alhamdulillah, hari demi hari saya juga belajar menjadi multitasker seperti Ibu.

      4) Womanpreneur
Nah, ini bagian yang asik. Di sekitar saya, jarang sekali ada sosok wanita yang bisa merangkap sebagai ibu, PNS dan pebisnis sekaligus. Ibu menjadi guru sejak tahun 1982. Saat itu memang tuntutan kinerja guru belum seberat sekarang (tapi kok bisa menghasilkan murid-murid yang berkarakter, tanya kenapa?). Sepulang mengajar, Ibu berjualan keliling. Komoditi utamanya sandang, tapi Ibu juga melayani pesanan apapun. 
Waktu itu pembangunan belum seperti sekarang. Apalagi di daerah pegunungan seperti tempat kami tinggal. Ibu berjalan kaki dari desa ke desa sambil menggendong barang dagangannya. Bapak yang juga guru, menekuni pekerjaan sambilan sebagai tukang foto keliling. Sedikit demi sedikit Bapak dan Ibu menabung untuk membeli tanah di lokasi yang lebih strategis, dekat pusat kecamatan. Setelah tanah terbeli, Bapak dan Ibu membuat toko. Sampai sekarang Bapak dan Ibu mengelola sendiri toko itu. Bapak sudah pensiun, Ibu masih aktif mengajar.

Berbagi Tips
Ini ditujukan kepada para jomblo yang mungkin masih TTGG (takut-takut gimana gitu) dengan stigma ibu mertua yang banyak dihembus-hembuskan di luar sana.

  • Luruskan niat menikah untuk ibadah semata. Kalau niatnya baik, apa yang datang juga mesti baik-baik. Dapat calon suami yang baik, dapat keluarga baru yang baik, dan kehidupan yang baik. In sya Allaah.. :)
  • Menyediakan banyak waktu untuk bersama keluarga baru. Kalau ada rejeki langsung punya rumah sendiri, alhamdulillaah.. Harus rajin berkunjung ke rumah kedua orang tua untuk menjalin hubungan batin yang kuat. Kalau belum, jangan berkecil hati, jadikan kesempatan itu untuk mengakrabkan hubungan. 
Bagi saya, tidak ada mertua. Yang ada Ibu dan Bapak. Setelah menikah, saya punya dua Ibu dan dua Bapak. Ibu dari suami adalah Ibu kita. Ibu yang tertunda karena tidak diberikan Allaah saat kita lahir, tetapi diberikan saat kita menikah.



Read more

Jumat, 17 April 2015

My First Winning Competition

Ini resensi saya yang jadi juara III di lomba resensi Perpusda Banjarnegara tahun lalu. Hadiahnya piala, piagam dan uang 1 juta. Hahay.. *pamer mode on. Nggak lah, cuma juara III juga, tingkat kabupaten pula. Cuma kadang miris kalau lihat lomba nulis hadiahnya cuman .... yah, gitu deh. Secara menulis itu proses kreatif yang berdarah-darah, terutama untuk penulis newbie seperti saya *pengakuan tulus nih.

Dapat info lomba ini dari Mba Siti. Bukunya pun dicarikan karena saya lagi sakit-sakitan waktu itu. Bikinnya mepet dan asli berdarah-darah karena saya memang lagi pendarahan karena Adenomyosis. Waktu dapat kabar juara III, rasanya lebih seneng dari normalnya. Soalnya disambi juga bikin persiapan supervisi pengawas esok harinya. Yang terjadi esok harinya, pagi-pagi sekali saya ke sekolah setor administrasi untuk supervisi, terus kabur ke rumah sakit, mampir ke Perpusda setor resensi. Hari yang dramatis, menurut saya. Tapi dari situ saya bikin quote, "menulislah karena itu menyembuhkan dan membahagiakan" Buktinya waktu lagi kejar detlen itu nggak kerasa sakitnya, waktu dapat hadiah juga bahagia luar biasa. Haha..


Piala dan piagamnya :p

Alhamdulillaaah... ^_^
Eh, ngoceh mulu, kapan resensinya..?!

*********




Resensi Novel 9 Summers 10 Autumns
"Menggapai Dunia Berbekal Cinta Keluarga"

Judul Buku   : 9 Summers 10 Autumns -Dari Kota Apel ke The Big Apple-
Jenis Buku    : Novel Otobiografi
Penulis         : Iwan Setyawan
Penerbit       : Gramedia
Cetakan       : Ketigabelas, Mei 2013
Tebal Buku   : 221 halaman

Dengan ilustrasi sampul yang menyandingkan dua buah apel berlatar pemandangan kota Malang dan New York, buku ini terlihat segar. Terlebih dengan komentar Andy F. Noya yang tertera di bagian bawah sampul, “segar dan inspiratif,” rasanya cukup menggambarkan bagaimana cerita dalam novel ini akan menyuguhkan sesuatu yang baru, sekaligus menginspirasi pembacanya.

Iwan Setyawan, penulis novel berjenis otobiografi ini, adalah salah satu potret anak negeri yang berhasil menembus segala keterbatasan untuk mencapai impian yang tinggi, bahkan tidak terbayangkan sebelumnya. Terlahir dalam keluarga sederhana yang penuh kehangatan, Iwan kecil hanya ingin merasakan punya kamar sendiri. Ia tak pernah membayangkan akan bekerja di New York, salah satu kota paling kosmopolitan di dunia, sebagai seorang direktur.

Novel yang menggunakan alur campuran ini diawali dengan kejadian Iwan yang nyaris terbunuh dalam sebuah aksi perampokan di kota New York. Cerita kemudian bergulir saat Iwan bertemu dengan sosok anak kecil berseragam merah putih yang tidak lain adalah representasi masa kecilnya sendiri. Kehadiran sosok bocah ini memudahkan Iwan memutar ulang masa lalunya dengan gaya tutur yang tidak membosankan.

Iwan melukiskan sosok-sosok yang berarti dalam hidupnya dengan begitu apik. Sosok ibu digambarkan dengan kata-kata “Ibuku, hatinya putih. Ia adalah puisi hidupku. Begitu indah. Ia adalah setiap tetesan airmataku” (halaman 35). Mbak Isa, sang pembuka jalan yang telah menginspirasi adik-adiknya untuk semangat belajar. Bapak, Mak Gini dan Pak Mun, Inan, Rini dan Mira adalah keluarga yang sangat dicintainya. Pada bagian selanjutnya, tergambarkan pula sosok Lek Tukeri yang menyelamatkan kuliah Iwan dengan pinjaman dana yang tidak sedikit. Sosok Yanti Nisro, Director Data Processing di kantor Nielsen, tempat Iwan memulai kerja profesionalnya, dan Nurati Sinaga, yang telah membawa Iwan bekerja di kota New York juga digambarkan dengan penuh rasa terima kasih. Hal ini mengisyaratkan kepada pembaca untuk selalu menghargai jasa orang-orang terdekat.

Di tengah kondisi generasi muda yang kering nilai, novel ini hadir dengan sentuhan motivasi yang kuat. Motivasi intrinsik yang tumbuh justru dari keadaan serba kekurangan, dimana pada awalnya Iwan kecil hanya ingin setara dengan teman-temannya yang dilahirkan dalam keluarga yang lebih mapan. Tidak ada satupun mainan yang diingatnya dari masa kecil. Hanya buku-buku pelajaran yang menjadi teman bermainnya. Dengan kondisi serba kekurangan, terselip pesan untuk menghargai apapun yang dimiliki “impian haruslah menyala dengan apa yang kita miliki, meskipun yang kita miliki itu tidak sempurna, meskipun itu retak-retak” (halaman 21).

Dalam nuansa motivasi yang kuat, terdapat hal-hal penting yang mengantarkan kesuksesan Iwan. Pertama, kehangatan keluarga. Kutipan tulisan Dostoevsky yang tertera di awal buku membantu Iwan mengungkapkan betapa berartinya keluarga bagi kesuksesannya. Tidak ada yang lebih tinggi, lebih kuat, lebih berguna dalam hidup, daripada kenangan masa kecil, yang boleh jadi merupakan pendidikan terbaik sepanjang hidup, tulis Dostoevsky.

Kedua, pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan adalah jalan seseorang mengubah nasib. Bagi Iwan dan keluarganya, pendidikan merupakan pembuka jalan kesuksesan yang tidak bisa ditawar lagi mengingat kondisi serba terbatas yang mereka alami. Karena itulah Bapak berani menjual angkot yang merupakan tumpuan nafkah keluarga demi menyekolahkan Iwan di jurusan statistika IPB. Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia.

Ketiga, kerja keras. Iwan yang kecil dan canggung merasa harus membuktikan kemampuannya dengan kerja keras. Karenanya, ia sempat menjadi Employee of the month di kantor Nielsen, tidak kalah dengan teman kerjanya yang lulusan luar negeri. Kerja keras ini pula yang mengantar Iwan menjadi Director of internal client management di Nielsen New York. Ketiga resep kesuksesan Iwan ini dapat diduplikasi oleh siapa saja sehingga sangat menginspirasi pembacanya.

Meski tidak terlalu mengganggu, buku ini memiliki sisi kekuatan yang juga dapat menjadi kelemahan. Yang pertama, kehadiran sosok khayalan berupa bocah SD berseragam merah putih. Selain memudahkan Iwan menggulirkan cerita dengan apik, bagi yang kurang memahami interpretasi simbolik mungkin akan kesulitan memaknai siapakah bocah itu sebenarnya. Kemunculan dan dialognya juga sering tak masuk akal. Kedua, terlalu banyaknya kata-kata berbahasa Inggris yang tidak disertai terjemahan, di satu sisi dapat mengesankan buku ini lebih berkelas, tetapi juga dapat memunculkan kebingungan bagi kalangan yang kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas.

Meski demikian, novel ini sangat layak dibaca oleh semua kalangan karena nuansa motivasinya yang begitu kental dapat membuka mata hati tentang keterbatasan, kegigihan, dan kesederhanaan  dalam hidup. Novel ini juga menggugah semangat generasi muda untuk meraih impian, setinggi apapun itu. Seperti yang sering dikatakan Iwan, “aku tak bisa memilih masa kecilku. Tetapi masa depanku, akulah sendiri yang akan melukiskannya”

Read more

Deudeuh in My Thought

Posting ulang status fesbuk.

Yang saya sesalkan, kok nggak ada para bapak, paman dan kakak laki-laki yang komen tentang tetot keempat. Huaaa...

Ini nih bunyi statusnya.

Sebenarnya saya malas menyebut nama para newsmaker bernuansa negatif di timeline saya. Misalnya, kedua capres yang sudah bikin polarisasi dan membuat beranda fesbuk saya tak pernah lagi sama itu, seingat saya tidak pernah saya mengetikkan nama mereka di timeline sekalipun :p

Tapi kali ini dhorurot :p
Tentang perempuan ber-inisial D dengan profesi busuk itu.

Sebelumnya, tak sengaja saya buka link tentang generasi pecandu media sosial. http://www.brilio.net/…/15-gambar-ini-hanya-bisa-dipahami-p…

Help! I'm 1... and .... :(

Bicara tentang ABG, bukan pecandu media sosial berpangkat emak dan bapak seperti kita. Salah satu poinnya, maraknya kehamilan di kalangan remaja putri, tentu saja kehamilan tak diharapkan.

Lalu saya coba mengetikkan “help i’m 1 “ di kolom Google Search. Betul, suggestion yang muncul adalah: help i’m 13 and pregnant, help i’m 14 and pregnant, dan seterusnya. Lalu di otak saya bersliweran aneka judul status.. ;p eh bukan ding.. maksudnya, tetot..! saya jadi mikir beberapa poin.

Tetot pertama

Kalau suggestion itu ditampilkan karena banyak yang mencari topik itu, bukan karena bisa-bisanya Mbah Gugel saja, berarti waduh.. kehamilan tak diharapkan di kalangan bocah umur belasan tahun sudah banyak terjadi. Semoga saja bukan di indonesia.

Tetot kedua

Kayaknya berpura-pura naif dan tidak tau pergaulan bebas itu sudah jamak di kalangan remaja Indonesia, itu wagu banget ya? Apalagi ceritanya saya ini guru BK (ceritanyaa lho yaa :p ). Jadi suudzon saja, yang curhat sama Mbah Gugel itu termasuk bocah Indonesia yang bisa bahasa Inggris.

Tetot ketiga

Waduh, kalau sudah begini, tinggal nunggu munculnya D-D berikutnya. Pergaulan bebas itu pintu menuju prostitusi. Kalau para remaja putri sudah nyaman kehilangan kehormatannya, pada kondisi baik-baik saja dan tidak kepepet, maka dalam kondisi kepepet apalagi, melacurkan diri juga enteng saja.

Tetot keempat

Kemana para ayah, kemana para paman, kemana para kakak laki-laki? Mereka layak jadi wali nikah karena sehari-hari bertanggungjawab atas kehidupan para perempuan itu je.. :p

Masih bunyi tetot-tetot yang lain, tapi takut statusnya kepanjangan.

Jum’ah Mubarak teman-teman :)


‪#‎StatusDiniHari‬
‪#‎LemburGaweanSekolah‬
Read more

Sabtu, 14 Februari 2015

Revitalisasi BK di Sekolah

Ini artikel pertama saya, yang bikin saya semangat nulis. Alhamdulillaah.. Selain jadi yang pertama, artikel ini juga "gue banget" karena sesuai dengan bidang kerja saya sehari-hari. Saya simpan di sini sebelum hilang lagi. Hiks..

Revitalisasi BK di Sekolah

Seiring dengan perubahan zaman yang semakin dinamis, unsur soft skill menjadi suatu keniscayaan yang harus diinternalisasikan ke dalam karakter individu. Tidak ada yang memungkiri bahwa SDM yang cakap dalam hard skill tak akan berhasil tanpa soft skill yang memadai.

Bayangkan saja, seseorang yang sangat menguasai suatu keterampilan tertentu, tetapi tidak punya motivasi, kemampuan berkomunikasi, ataupun strategi mengelola stres, bagaimanakah jadinya? Pentingnya penanaman
soft skill dalam pendidikan merupakan salah satu landasan historis munculnya Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah.

Tuntutan dan tantangan global menyebabkan peranan BK di sekolah menjadi semakin penting. Problematika pelajar yang semakin berat dan beragam serta tuntutan kompetensi lulusan yang semakin tinggi membuat guru BK dituntut untuk lebih profesional dalam menjalankan perannya. Sayangnya, paradigma yang keliru masih sering menghambat atau bahkan membelokkan fungsi dan peran BK di sekolah.


Kultur Sekolah
Setiap sekolah mempunyai kultur yang berbeda dalam memosisikan guru BK. Namun paradigma umum yang masih melekat hingga saat ini adalah guru BK sebagai ''polisi'' sekolah yang harus selalu berkutat dengan siswa bermasalah.

Setiap permasalahan siswa dari yang ringan sampai berat menjadi tanggung jawabnya. Walaupun demikian, sifatnya yang nonjam juga membuat guru BK dianggap sebagai guru yang santai, bahkan setengah menganggur. Paradigma semacam itu tentu sangat memprihatinkan mengingat tantangan yang harus dihadapi dunia pendidikan, khususnya guru BK pada era global ini.

Sekali lagi, pentingnya menanamkan soft skill menuntut pemahaman komprehensif terhadap unsur psikologi siswa. Guru BK yang secara akademis telah dibekali dengan kompetensi psikologi jelas menempati posisi strategis dalam memenuhi tuntutan tersebut. Untuk itu, perlu revitalisasi BK di sekolah agar dapat menjalankan fungsi dan peran yang tepat dalam menjawab tantangan dunia pendidikan kontemporer.


Penyebab dan Upaya 
Kekeliruan paradigma terhadap guru BK di sekolah disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu minimnya pemahaman unsur sekolah tentang fungsi dan peran BK, serta kinerja guru BK sendiri yang kurang profesional. Kedua faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Sebagai contoh, minimnya pemahaman terhadap BK menyebabkan kekeliruan tuntutan dari guru lain saat menghadapi siswa bermasalah.

Guru lain berharap siswa yang bermasalah akan dimarahi dan dihukum hingga kapok saat dihadapkan pada guru BK, sedangkan guru BK punya strategi tersendiri, yaitu konseling dan kunjungan rumah. Sebaliknya, minimnya profesionalisme guru BK juga seringkali menjadi bumerang bagi tercapainya fungsi dan peran yang tepat.

Misalnya, guru BK yang kurang menguasai keterampilan konseling sehingga konseling menjadi tidak efektif dan permasalahan siswa tidak dapat tertuntaskan, atau guru BK mengikuti kultur yang ada, yaitu dengan memarahi dan menghukum siswa yang berkasus. Untuk itu diperlukan beberapa upaya dalam revitalisasi BK di sekolah.  Pertama, perlu dilakukan sosialisasi terhadap seluruh unsur sekolah tentang fungsi dan peran BK yang tepat. Bila selama ini bagan dan pajangan tentang BK hanya menghiasi ruang BK saja, maka perlu
disebarluaskan di seluruh sekolah dengan slogan yang lebih menarik dan komunikatif, misalnya ''Konselor di sekolah mantap, di luar sekolah sigap, dan di mana saja siap.''

Kedua, peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru BK. Kompetensi dalam hal ini meliputi landasan keilmuan dan aplikasinya. Guru BK harus terus menerus menambah wawasan seiring dengan problematika siswa yang semakin berat dan beragam. Profesionalisme yang tinggi juga harus ditampakkan dalam sikap dan perilaku, misalnya giat menempuh berbagai metode untuk menuntaskan permasalahan siswa, selalu menunjukkan sikap penuh empati dan peduli pada siswa, giat melakukan riset, dan memiliki kelengkapan administrasi. Paradigma bahwa guru BK adalah ''polisi'' sekolah tidak dapat serta merta
hilang dari kultur sekolah.

Penanganan terhadap siswa bermasalah memang menyedot porsi terbesar dalam diagram kerja guru BK pada umumnya, namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana penanganan tersebut dilakukan. Guru BK
profesional menyadari bahwa penanganan yang dilakukan terhadap siswa tidak boleh menyalahi koridor dan kode etik yang berlaku.

Berbagai metode pun harus dilakukan untuk dapat menuntaskan permasalahan siswa. Pergeseran paradigma ke arah yang lebih positif juga dapat diupayakan dengan menitikberatkan penanganan siswa pada strategi preventif, sehingga guru BK tidak melulu berurusan dengan siswa bermasalah tetapi dapat mencegah timbulnya permasalahan. Profesionalisme guru BK yang tinggi sangat penting dalam revitalisasi bimbingan dan konseling di sekolah. (24)


--Asruriyati, guru BK di SMP Negeri 3 Wanayasa, Banjarnegara.
 
Penampakan artikel di rubrik Suara Guru, Harian Suara Merdeka tanggal 7 September 2013
 
Read more

ME, MY STUDENTS AND THAT DAMN UNCATEGORIZED MUSIC

Catatan ini pada awalnya hanya status Facebook biasa, pertama kalinya saya nyetatus panjang, waktu itu buat selingan saat jenuh bikin SPJ BOS Triwulan IV (gak ada yang nanya 'kalee.. :p ). Tak disangka, yang share tembus angka 237. Subhanallah, habis itu senang deh.. dapat banyak teman. Ternyata musik nggak jelas ini adalah keprihatinan banyak pihak (bukan karena nulisnya bagus loh.. ).

Here it is..

ME, MY STUDENTS AND THAT DAMN UNCATEGORIZED MUSIC

Saya bukan penyuka musik, walaupun nggak anti juga sih.. Belakangan, saya mulai ilfil dengan beberapa lagu yang menurut saya mengandung muatan nggak mendidik. Bukan apa-apa, hanya mengingat posisi saya sebagai guru BK yang wajib concern dengan budi pekerti anak didik *jiaah...  Didaerah tempat saya mengajar, musik beginian jadi mainstream. Didendangkan anak-anak dengan senangnya. Padahal liriknya, na’udzubillah..

Awalnya hanya sering dengar saat belanja di pasar.Qodarulloh.. (kata ustadz.., ehm.. daripada bilang “kebetulan” mendingan“qodarulloh” karena segala sesuatu tidak ada yang kebetulan, mesti sudah dirancang oleh Alloh SWT) lapak penjual buah langganan saya bersebelahan dengan lapak penjual VCD yang tiada henti memutar sampel VCDnya untuk menarik perhatian pembeli. Keras-keras pula. Karena urusan pilih memilih buah sering agak lama,jadilah saya “penikmat” dadakan musik beginian. Biasanya lagu yang diputar adalah lagu yang sedang digandrungi masyarakat. Kebanyakan berbahasa jawa.Setelah dulu ada lagu “cucak rowo” yang.. u know.. menggambarkan sesuatu yang sangat aurat, kini ada lagu sejenis yang lebih vulgar. Belakangan baru tau judulnya “ngidam penthol”.. hiks! Temanya tentang seorang istri yang lagi horny.. (wah, jadi ikutan vulgar juga dong.. tapi barangkali ada teman yang dari luar jawa dan gak ngerti lagu itu). Walaupun disampaikan dengan perumpamaan, siapapun yang bisa berbahasa jawa pasti tau maksud sebenarnya.Termasuk anak-anak. Apalagi di akhir lagu diselipi dialog istri yang kebelet masuk kamar. Pantas didengar anak-anak? Jangan ditanya!

Belum sembuh rasa ilfil dengan lagu itu, ketika kegiatan study tour saya dikagetkan bahwa ternyata, lagu semacam itu sangat disukai anak-anak didik saya.
Sebut saja NA, anak didik saya ini sehari-hari pakai kerudung saat berseragam sekolah. Waktu study tour, hlaaah.. kok kerudungnya dilepas?! Di tangannya sebuah hape made in china tergenggam sepenuh cinta. Bukan hapenya yang menarik perhatian saya, tapi musik yang disetel NAkeras-keras itu. Lagu ngidam penthol! Dan NA, beserta teman-temannya, terlihat sangat menikmati lagu itu. Buktinya waktu lagu itu selesai, seorang temannya meminta diulang.. seorang lagi meminta dikirimi lewat blutut..

Tak hanya lagu ngidam penthol, lagu yang dipopulerkan lewat goyang cesar juga sangat digandrungi. Bisa dibayangkan lagu yang judulnya saja “bukak sithik joss..” kira-kira isinya apa? Masih banyaklagu lain yang menurut saya uncategorized dan muatannya nggak mendidik. Sayasebut uncategorized, karena mau dibilang dangdut.. kayaknya bukan.., itu kalau dangdut adalah sebutan untuk musiknya Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, Iis Dahlia,dkk. Disebut campur sari… bukan kali ya..? Kalau pakai kriteria lagu Sunyahni, Didi Kempot, dkk. Disebut pop, bukan juga. Rock apalagi. Belakangan (lagi) barutau namanya musik “dangdut koplo”

Daaann.. musik dangdut koplo sukses menjadi soundtrack study tour kami waktu itu. Anak-anak yang bawa hape, memutar lagu-lagu beginian semua. Mending kalau gantian, mereka nyetelnya bareng-bareng.. lagunya beda-beda pula, dan nggak pakai headset. Saya hanya geleng-geleng takjub. Mau melarang, lagi menghindari sikap otoriter. Mau menyampaikan bahaya mendengar lagu-lagu nggak mendidik, bagi mereka bisa ditafsirkan = melarang. Akhirnya, saya hanya mengingatkan “mbak, mas.. hapenya dihemat dong batrenya. Nanti ga ada tempat buat ngecas lhoo.. sekarang kita tidur dulu, biar besok fresh..!” Hmm.., tak lama musik-musik itupun mereda.Beberapa anak mengeluh lowbat, membuat yang lain menyadari batre memang harus dihemat. Syukurlah.. Saya pun mencatat di logbook ( jiaaah.. logbook cyn..kaya’ koas ajah..!), next time hal ini harus dibahas. Menurut saya, memilih musik itu termasuk content pendidikan bermedia yang walaupun belum ada di kurikulum sekolah ndeso tempat saya mengajar, tetap harus disisipkan.

Back to topic.. lagu ngidam penthol yang saya ceritakan tadi, sebenarnya bukan lagu pertama yang bikin ilfil. Dulu pernah adalagu “hamil duluan” yang sukses menyatroni kuping saya. Ceritanya seorang yang pacaran kebablasan trus hamil tiga bulan. Yang menarik, reffnya diulang-ulangsecara tidak wajar (menurut saya.., belum sempat ngitung sih, diulang berapakali). “ku hamil duluan sudah tiga bulan, gara gara pacarannya kebablasan..ooh, aku hamil duluan, sudah tiga bulan” dalam satu lagu diulang-ulaaang terus.Pada beberapa lagu yang saya bilang uncategorized tadi, reffnya juga diulangsecara tidak wajar. Ini yang bikin saya curiga, bahwaa…: walaupun sepintas lagu beginian terdengar kurang intelek, tapi ini sebenarnya merupakan bagian dari pengrusakan terprogram oleh pihak yang sangat intelek, pintar dan punya modal.Tentunya lebih pintar dari guru BK sekolah ndeso macam saya. Sasarannya.. tentu generasi muda, kalau bisa yang usianya masih sangat belia, termasuk anak-anak didik saya. As we know, pengulangan merupakan salah satu metode hypnosis paling sederhana tapi ampuh. Pengulangan lirik bermuatan tidak mendidik pada lagu yang notabene dikonsumsi sebagai hiburan, bisa sangat mengena karena biasanya gelombang otak pada saat menikmati hiburan adalah gelombang alpha.. which is..sangat sesuai untuk menanamkan content tertentu ke otak. Eh.. cemiiiw lhoo..saya hanya guru BK sekolah ndeso yang butuh banyak masukan…, ngga sempat googling pula.

Sedikit kebayang bagaimana anak-anak bisa sangat terpengaruh. Saya saja sebagai orang dewasa sering terngiang-ngiang kalau habisdengar lagu-lagu itu. Hati saya ilfil, tapi di otak saya nancep juga. Berarti penerimaan di hati dan otak bisa juga nggak sinkron ya? Makanya “sang aktor intelektual” giat banget memperdengarkan lagu-lagu ini. Walaupun sebel, kalau diulang-ulang nancep juga di otak. Miris deh kalau mengamati pesan moral yangterbalut di lagu beginian. Misalnya, tengoklah lagu-lagu ini..

“hey.. kenapa kamu kalo lihat aku sukanya bilang..bukak sithik joss.. apa karena pake rok mini jadi alasan.. sukanya abang ini lihat-lihat bodiku yang seksi..”
pesan moralnya: it’s okay to wear rok mini and baju seksi, kalo si abang lihat.. salah si abang dong..!

“penginku smsan.. wedi karo bojomu.. pengin kuketemuan.. wedi karo bojomu..”
pesan moralnya: it’s okay to be a selingkuhan (penyanyi = orang pertama, ceritanya selingkuh dengan suami orang. Masih mending yang nyanyi istri yang ditinggal selingkuh, at least selingkuh masih dianggap hal yang tidak disetujui bersama)

“cinta satu malam oh indahnya.. cinta satu malam membuat ku melayang.. walau satu malam akan slalu kukenang selama-lamanya..”
pesan moralnya: it’s okay to have one night love.Cinta apa coba malam-malam? Cinta di tempat dugem? Cintanya sebangsa kelelawar‘kali..?

Udah ah.. entar malah dikira kolektor lagu-lagu beginian. Repot kalau pada ngantri mau pinjem. Lho..?!

Menengok pesan moral yang terbalut dalam lagu-lagu itu, saya merasa pantas resah. Karena, mana mungkin mengontrol musik yang diperdengarkan secara massif, agar tidak terdengar oleh anak-anak? Biasanya malah anak-anak yang paling duluan hafal liriknya dengan sempurna. Jika Anda orang dewasa, bisa mengontrol pesan moral yang masuk ke telinga Anda, the choice is yours. Tapi bagi anak-anak..? Oh my..

Sekali lagi, saya melihat dari sudut pandang pendidikan. Masygul nian rasanya, susah payah mendidik di sekolah, tapi.. diluar sekolah berkeliaran pesan moral macam ini, yang pasti lebih dahsyat efeknya daripada hasil pendidikan di sekolah. Mau mengandalkan orang tua dirumah? Malangnya, di tempat saya mengajar, para orang tua masih beranggapan bahwa anak-anak akan tumbuh secara alamiah, tanpa butuh dukungan stimulus yang memadai dan kontrol terhadap variabel pengacau. Yah.. maklum di desa,kebanyakan bahkan tidak lulus SD.., mana paham parenting.. Mereka bahkan turut berperan memperdengarkan lagu beginian.

Hiks..!
Read more

Senin, 26 Januari 2015

OUT OF CONNECTION

Untuk soal facebook dan internetan (termasuk blogging), seperti banyak hal lainnya, saya termasuk yang angin-anginan. Moody tapi keterlaluan. Timelime Facebook saya sepiii... Hanya mengandalkan teman-teman yang berbaik hati mengetag saya di postingan mereka. Terima kasih Mbak-mbak Raidah Athirah, Fathimatuz Zahra, Rif'ati Djunet sudah berpartisipasi mengisi timeline saya :)

Saya sendiri jarang update status. Bikin status pendek nggak tau mesti ngomong apa. Garing. Bikin status panjang lebih nyaman, tapi waktunya nggak mesti ada, mood juga datang dan pergi sesukanya.
Tapi yang lebih memilukan, seperti halnya mood, ada sesuatu yang datang dan pergi dengan semena-mena. Yaitu koneksi internet, teman-teman..

Saya tinggal di pegunungan. Kira-kira 10 menit perjalanan pakai motor dari lokasi longsor Jemblung kemarin. To be honest, desa saya lebih pelosok dari Jemblung, karena tidak mendapat akses jalan antar kecamatan, apalagi antar kabupaten seperti Jemblung. Bisa dibayangkan? Koneksi internet masih barang mewah bagi saya. Juga perangkatnya.

Dulu, ..... Pakai modem GSM dan kartu paket internet. Hanya ada 1 operator yang sinyalnya memadai untuk akses data. Serasa mimpi bisa internetan pake kompie di rumah, biasanya pake hp doang, itupun disetting untuk loading data minimalis, biar irit. Hiks.. Internetan pake modem 50 rebu dapat 2 GB. Anti download pokoknya. Cuma browsing ringan dan fesbukan, itupun mesti unfollow orang-orang yang sering upload foto narsis ngga penting (kebanyakan murid, abegeh gitu, fotonya ngga penting banget, eman-eman paket data buat loadingnya). Kalau mau download agak gede mesti mengaktifkan paket midnight. Internetan sambil menggigil. Suhu tengah malam hingga dini hari, sekitar 16 derajat dengan dinding rumah bolong-bolong kebayang kah? Kalau nggak penting banget ogah lah.

Masa bulan madu dengan internet tidak berlangsung lama. Karena terus menerus merogoh kocek untuk beli paket data setheplik, sementara harus berdamai dengan rasa jengkel karena sering dirugikan oleh sistem tarif, itu rasanya memilukan banget (halah). Ditambah, modem yang terpaksa ditaruh di luar rumah biar sinyalnya cukup (kayak antena TV gitu) sukses raib diambil orang. Huuhuuhuu... Waktu itu situasinya dramatis banget. Hujan gede, petir menggelegar, keluar buat ngecek modem, eh si modem udah ngga ada.. Sediiih.. *mellow music please..

Hidup tanpa internet. Tak apa. Aku baik-baik saja.. *sambil madep tembok, diam-diam ngeluarin tissu..
Setelah cukup tabungan buat beli modem, suami mulai bereksperimen bikin antena biar modemnya ngga usah ditaruh di luar. Ada yang namanya antena yagi, trus antena omni, trus apa lagi, nggak hafal saya. Bikin sendiri pake pipa pralon dan elemen bekas. Sukses. Sinyal penuh. Modem sekarang aman di dalam rumah.
Lalu datang masa gonta ganti kartu internet. Capek, sungguh. Kembali ke operator awal yang tarifnya sering menjebak gitu. Mesti berdamai lagi dengan perasaan sering dirugikan. Saya jadi akrab dengan suara mbak customer service karena seringnya komplen.

Berpikir sedikit visioner (preett..) suami mulai coba-coba bikin repeater untuk koneksi speedy. Bagaimanapun, internet dibutuhkan banget di sini. Mbak-mbak sepupu yang guru-guru MI sering butuh untuk keperluan yang berkaitan dengan internet. Kami sering dimintai tolong untuk itu. Dengan slogan BERANTAS BUNET, suami dengan gigihnya bikin koneksi untuk rumah kami dan sekolah sekitar. Medan yang ekstrim bukan halangan (ciee...). Sampai akhirnya, ada wifi di rumah saya. Di pegunungan, rumah boleh reot, atap boleh bocor, tapi free wifi ada lho.. Huahahaa.. Ups.. :p

Lalu, saya dan suami bisa internetan bareng. Suami pake kompie, saya pakai laptop. Sampai di sini, internetan malah jadi wagu. Saya tergumun-gumun, bisa liat youtube tanpa takut paket data habis. Padahal kalau lihat youtube, susah untuk tidak ngeklik video yang ditawarkan di sebelahnya. Efisiensi kerja jadi berkurang drastis. Koneksi berlimpah, manfaat berkurang. Ternyata sesuatu yang terbatas, susah didapat, bisa lebih berharga dan bermanfaat. Noted.

Episodenya ganti lagi. Si kompie yang sudah mbah-mbah itu ngadat. Sering mati sendiri. Kinerjanya lambaaat banget. Buka tab baru, nunggunya sampai ngantuk, apalagi untuk kerja yang lain. Maklum, itu memang rongsokan yang dirakit sama suami. Untuk ganti CPU, kami belum mampu. Jadi, buat apa koneksi internet kalau komputernya nggak ada. Si wifi pun akhirnya dijual ke orang.. *mellow music again please..
Lalu, saya beli hape android. Itupun gara-gara urusan dinas yang seringnya koordinasi lewat grup watsap & BBM. Saya berubah pakem, dari hape jadul ke gadget android nan populer itu. Koneksi membaik. Banyak ketemu teman-teman lama di watsap. Bisa menemukan grup-grup yang bermanfaat juga. Seneng. Tapi musti akrab lagi dengan tarif data semena-mena para operator seluler. Dan jangan harap bisa akses data di rumah, karena nggak ada sinyal bo’.. Ada cuma kadang-kadang. Menyebalkan banget kadang, mau balas pesan sampai kelamaan. Dikira abai dan kurang responsif, padahal asli nggak ada sinyal. Ditag teman di postingan, mau komen atau setidaknya like, sinyal malah kabur. Tak apa. I moved on. Haha..


Desember 2014, datanglah episode sendu. Hujan terus-menerus selama 3 hari. Banjarnegara dilanda musibah. Longsor Jemblung jadi berita nasional. Malam itu saya upload foto dapet dari teman. Nggak taunya beritanya hoax. Langsung saya hapus statusnya. Hiks, malu banget.. Berniat meralat dan memberi info yang lebih valid, nggak ada koneksi. Sinyal data hape mendlap mendlep. Kompie masih rusak. Aaaarghh...
Saya juga belum sempat membalas beberapa pesan di inbox. Messenger di hape ikut-ikutan eror. Minta diupdate atau apa gitu. Maafkan saya Mbak Savitry 'Icha' Khairunnisa, Desiyana Susanti, Ibu Munjayanah Trihadi. Alhamdulillah saya baik-baik saja, tak kurang suatu apa..

Pada masa tanggap darurat, suasana benar-benar sendu. Melihat lalu lalang mobil luar kota, berlomba-lomba mengantar bantuan, posko-posko bertebaran, rasanya nyess... Begitu banyak orang peduli. Kebawa suasana sendu. Nggak mood internetan.
Hingga suatu sore ada sms dari kepala sekolah. Ada permintaan data dari dinas. Harus dikirim via email hari itu juga, atau ditunggu sampai besok pagi jam 6, karena untuk bahan rapat di Setda. Katanya.
Padahal waktu itu hari Minggu.

Saya jelaskan, saya sedang tidak punya koneksi internet. Kabel telkom kabarnya putus kena longsor Jemblung. Antena modem sudah dipensiunkan. Then, how can? Jawab kepala sekolah, “saya paham, tapi mungkin sudah waktunya dikirimkan ya?” Oh, baiklah.. No compromise..
Kompie yang mbah-mbah itu dibangunkan. Berusaha konek. Bisa. Alhamdulillah.. Satu email terkirim. Habis itu, pet.. Mati lagi. Hiks.. Belum sempat balas pesan. Tapi tak apa. Terima kasih kompie.. Kau benar-benar mengabdi sampai titik darah penghabisan (haiisy..).

Sebulan berlalu, sekarang sudah lebih baik. Kompie udah diganti apa dan apanya gitu. Kalau nggak salah motherboard, dan beberapa komponen lain. Lebih hemat daripada total ganti CPU. Kabel telkom sudah diperbaiki. Untuk koneksi internet, suami pasang router bekas. Udah kluwuk dan jadul. But, it works well. Saya bisa internetan lagi, teman-teman. Horeee... *heboh sendiri.

Haha.. Segitunya ya untuk bisa internetan. Alhamdulillah, tanpa internet pun hidup saya nyaman-nyaman saja. Bagi teman-teman yang kemarin sempat jadi relawan pasti jadi tau bagaimana ekstrimnya topografi daerah pegunungan utara Banjarnegara. Banyak yang terheran-heran, kok bisa ya ada orang bikin pemukiman disini? Indah tapi menyimpan bahaya. Infrastruktur juga masih jauh dari memadai. But life must go on..
Baiklah, untuk comeback edition 2015 cukup sekian dulu. Miss you all, friends..

Read more