Untuk soal facebook dan internetan (termasuk blogging), seperti banyak hal lainnya, saya termasuk yang
angin-anginan. Moody tapi keterlaluan. Timelime Facebook saya sepiii... Hanya
mengandalkan teman-teman yang berbaik hati mengetag saya di postingan
mereka. Terima kasih Mbak-mbak
Raidah Athirah,
Fathimatuz Zahra,
Rif'ati Djunet sudah berpartisipasi mengisi timeline saya :)
Saya sendiri jarang update status. Bikin status pendek nggak tau mesti
ngomong apa. Garing. Bikin status panjang lebih nyaman, tapi waktunya
nggak mesti ada, mood juga datang dan pergi sesukanya.
Tapi yang
lebih memilukan, seperti halnya mood, ada sesuatu yang datang dan pergi
dengan semena-mena. Yaitu koneksi internet, teman-teman..
Saya
tinggal di pegunungan. Kira-kira 10 menit perjalanan pakai motor dari
lokasi longsor Jemblung kemarin. To be honest, desa saya lebih pelosok
dari Jemblung, karena tidak mendapat akses jalan antar kecamatan,
apalagi antar kabupaten seperti Jemblung. Bisa dibayangkan? Koneksi
internet masih barang mewah bagi saya. Juga perangkatnya.
Dulu,
..... Pakai modem GSM dan kartu paket internet. Hanya ada 1 operator
yang sinyalnya memadai untuk akses data. Serasa mimpi bisa internetan
pake kompie di rumah, biasanya pake hp doang, itupun disetting untuk
loading data minimalis, biar irit. Hiks.. Internetan pake modem 50 rebu
dapat 2 GB. Anti download pokoknya. Cuma browsing ringan dan fesbukan,
itupun mesti unfollow orang-orang yang sering upload foto narsis ngga
penting (kebanyakan murid, abegeh gitu, fotonya ngga penting banget,
eman-eman paket data buat loadingnya). Kalau mau download agak gede
mesti mengaktifkan paket midnight. Internetan sambil menggigil. Suhu
tengah malam hingga dini hari, sekitar 16 derajat dengan dinding rumah
bolong-bolong kebayang kah? Kalau nggak penting banget ogah lah.
Masa bulan madu dengan internet tidak berlangsung lama. Karena terus
menerus merogoh kocek untuk beli paket data setheplik, sementara harus
berdamai dengan rasa jengkel karena sering dirugikan oleh sistem tarif,
itu rasanya memilukan banget (halah). Ditambah, modem yang terpaksa
ditaruh di luar rumah biar sinyalnya cukup (kayak antena TV gitu) sukses
raib diambil orang. Huuhuuhuu... Waktu itu situasinya dramatis banget.
Hujan gede, petir menggelegar, keluar buat ngecek modem, eh si modem
udah ngga ada.. Sediiih.. *mellow music please..
Hidup tanpa internet. Tak apa. Aku baik-baik saja.. *sambil madep tembok, diam-diam ngeluarin tissu..
Setelah cukup tabungan buat beli modem, suami mulai bereksperimen bikin
antena biar modemnya ngga usah ditaruh di luar. Ada yang namanya antena
yagi, trus antena omni, trus apa lagi, nggak hafal saya. Bikin sendiri
pake pipa pralon dan elemen bekas. Sukses. Sinyal penuh. Modem sekarang
aman di dalam rumah.
Lalu datang masa gonta ganti kartu internet.
Capek, sungguh. Kembali ke operator awal yang tarifnya sering menjebak
gitu. Mesti berdamai lagi dengan perasaan sering dirugikan. Saya jadi
akrab dengan suara mbak customer service karena seringnya komplen.
Berpikir sedikit visioner (preett..) suami mulai coba-coba bikin
repeater untuk koneksi speedy. Bagaimanapun, internet dibutuhkan banget
di sini. Mbak-mbak sepupu yang guru-guru MI sering butuh untuk keperluan
yang berkaitan dengan internet. Kami sering dimintai tolong untuk itu.
Dengan slogan BERANTAS BUNET, suami dengan gigihnya bikin koneksi untuk
rumah kami dan sekolah sekitar. Medan yang ekstrim bukan halangan
(ciee...). Sampai akhirnya, ada wifi di rumah saya. Di pegunungan, rumah
boleh reot, atap boleh bocor, tapi free wifi ada lho.. Huahahaa.. Ups..
:p
Lalu, saya dan suami bisa internetan bareng. Suami pake kompie, saya
pakai laptop. Sampai di sini, internetan malah jadi wagu. Saya
tergumun-gumun, bisa liat youtube tanpa takut paket data habis. Padahal
kalau lihat youtube, susah untuk tidak ngeklik video yang ditawarkan di
sebelahnya. Efisiensi kerja jadi berkurang drastis. Koneksi berlimpah,
manfaat berkurang. Ternyata sesuatu yang terbatas, susah didapat, bisa
lebih berharga dan bermanfaat. Noted.
Episodenya ganti lagi. Si
kompie yang sudah mbah-mbah itu ngadat. Sering mati sendiri. Kinerjanya
lambaaat banget. Buka tab baru, nunggunya sampai ngantuk, apalagi untuk
kerja yang lain. Maklum, itu memang rongsokan yang dirakit sama suami.
Untuk ganti CPU, kami belum mampu. Jadi, buat apa koneksi internet kalau
komputernya nggak ada. Si wifi pun akhirnya dijual ke orang.. *mellow
music again please..
Lalu, saya beli hape android. Itupun
gara-gara urusan dinas yang seringnya koordinasi lewat grup watsap &
BBM. Saya berubah pakem, dari hape jadul ke gadget android nan populer
itu. Koneksi membaik. Banyak ketemu teman-teman lama di watsap. Bisa
menemukan grup-grup yang bermanfaat juga. Seneng. Tapi musti akrab lagi
dengan tarif data semena-mena para operator seluler. Dan jangan harap
bisa akses data di rumah, karena nggak ada sinyal bo’.. Ada cuma
kadang-kadang. Menyebalkan banget kadang, mau balas pesan sampai
kelamaan. Dikira abai dan kurang responsif, padahal asli nggak ada
sinyal. Ditag teman di postingan, mau komen atau setidaknya like, sinyal
malah kabur. Tak apa. I moved on. Haha..
Desember 2014,
datanglah episode sendu. Hujan terus-menerus selama 3 hari. Banjarnegara
dilanda musibah. Longsor Jemblung jadi berita nasional. Malam itu saya
upload foto dapet dari teman. Nggak taunya beritanya hoax. Langsung saya
hapus statusnya. Hiks, malu banget.. Berniat meralat dan memberi info
yang lebih valid, nggak ada koneksi. Sinyal data hape mendlap mendlep.
Kompie masih rusak. Aaaarghh...
Saya juga belum sempat membalas
beberapa pesan di inbox. Messenger di hape ikut-ikutan eror. Minta
diupdate atau apa gitu. Maafkan saya Mbak
Savitry 'Icha' Khairunnisa,
Desiyana Susanti, Ibu
Munjayanah Trihadi. Alhamdulillah saya baik-baik saja, tak kurang suatu apa..
Pada masa tanggap darurat, suasana benar-benar sendu. Melihat lalu
lalang mobil luar kota, berlomba-lomba mengantar bantuan, posko-posko
bertebaran, rasanya nyess... Begitu banyak orang peduli. Kebawa suasana
sendu. Nggak mood internetan.
Hingga suatu sore ada sms dari kepala
sekolah. Ada permintaan data dari dinas. Harus dikirim via email hari
itu juga, atau ditunggu sampai besok pagi jam 6, karena untuk bahan
rapat di Setda. Katanya.
Padahal waktu itu hari Minggu.
Saya
jelaskan, saya sedang tidak punya koneksi internet. Kabel telkom
kabarnya putus kena longsor Jemblung. Antena modem sudah dipensiunkan.
Then, how can? Jawab kepala sekolah, “saya paham, tapi mungkin sudah
waktunya dikirimkan ya?” Oh, baiklah.. No compromise..
Kompie
yang mbah-mbah itu dibangunkan. Berusaha konek. Bisa. Alhamdulillah..
Satu email terkirim. Habis itu, pet.. Mati lagi. Hiks.. Belum sempat
balas pesan. Tapi tak apa. Terima kasih kompie.. Kau benar-benar
mengabdi sampai titik darah penghabisan (haiisy..).
Sebulan
berlalu, sekarang sudah lebih baik. Kompie udah diganti apa dan apanya
gitu. Kalau nggak salah motherboard, dan beberapa komponen lain. Lebih
hemat daripada total ganti CPU. Kabel telkom sudah diperbaiki. Untuk
koneksi internet, suami pasang router bekas. Udah kluwuk dan jadul. But,
it works well. Saya bisa internetan lagi, teman-teman. Horeee... *heboh
sendiri.
Haha.. Segitunya ya untuk bisa internetan.
Alhamdulillah, tanpa internet pun hidup saya nyaman-nyaman saja. Bagi
teman-teman yang kemarin sempat jadi relawan pasti jadi tau bagaimana
ekstrimnya topografi daerah pegunungan utara Banjarnegara. Banyak yang
terheran-heran, kok bisa ya ada orang bikin pemukiman disini? Indah tapi
menyimpan bahaya. Infrastruktur juga masih jauh dari memadai. But life
must go on..
Baiklah, untuk comeback edition 2015 cukup sekian dulu. Miss you all, friends..